
Oleh Wina Armada Sukardi, Penyair
DI Hari Puisi Nasional tahun 2023 ini, saya ingin kembali mengulik ikhwal debat yang sudah muncul sejak dulu, yakni mana yang lebih utama dan lebih penting dalam karya puisi: pencapaian estetis atau nilai-nilai “puitis” sendiri, versus, penyampaian makna dan subtansinya?
Debat soal ini sudah berlangsung puluhan tahun, sehingga sering juga dianggap sebagai “debat klasik.” Sebagai kritikus film, saya sering menemukan para sineas terbelah antara mereka yang lebih mengedepankan penyajian “estetika” sinematogragis dan dengan mereka yang lebih mengutamakan substansi pesan. Makna.
Dalam dunia film nasional, “kutub” yang pertama diwakili oleh sutradara Teguh Karya dan Garin Nugroho, sementara “kubu” yang kedua diwakili oleh Syuman Djaya dan Arifin C. Noer dan beberapa lagi.
Pada kubu pertama, gambar-gambar film sangat liris dan puitis, tapi soal pemaknaannya dapat diperdebatkan kemana-mana. Sedangkan di kubu kedua, penekanannya jelas pada maknanya, adapun teknis estetika cuma dianggap alat yang mengikuti pemaknaan.
Terjadi Juga di Sepak Bola
Ternyata tak hanya pada bidang seni adanya dikotomi semacam itu. Dalam dunia sepak bola juga ada. Di satu sisi ada mazhab yang penting bermain bola efektif menciptakan gol, versus pada sisi lain mazhab yang mengedepankan permainan cantik. Pernainan indah. Meskipun kedua-duanya sama-sama bertujuan menggapai kemenangan, tapi cara pendekatannya beda.
Saat saya membuat puisi, secara di bawah sadar, “dilema” semacam itu sering muncul: apakah saya ingin lebih mengejar efek “estetika” dengan memperhatikan kata-kata, irama, ritme, diksi dan struktur dan lain-lain unsur yang menciptakan nuansa puitis, ataukah lebih mengutamakan “pesan” tanpa harus terlalu memperdulikan aspek-aspek yang berkaitan dengan nilai-nilai puitik atau puitis.
Tak perlu diperdebatkan, idealnya tentu secara sadar sang penyair ingin menghadirkan keduanya. Namun dalam realitas, praktis seringkali menjadi semacam dikotomi yang dilematis.
Secara unum, sebagian besar penyair, faham “nilai-nilai estetik” atau nilai “puitis” dan faham pula bagaimana cara menciptakannya. Mulai dari “ritme,” “pilihan kata”, “diksi”“akhiran kalimat yang dengan bunyi seirima,” “struktur” dan sebagai dan sebagainya.
Namun, celakanya, sering kali banyak penyair “terjebak” dalam pengejaran nilai-nilai “puitis” atau “estetis,” sehingga melupakan subtansi atau pesan atawa “massage. ” Walhasil puisi mereka seperti produk yang mengutamakan kemasan yang menarik tapi isinya sebenarnya hampar. Puisi semacam itu tak bicara apa-apa, sejatinya.
Sebaliknya banyak penyair yang terlampau mementingkan “subtansi” atau “isi” atau “massage” tapi kurang memperhatikan liris, ritme, diksi, kata atau kalimat yang bersifat “estetis” atau “puitis.” Akibatnya hasil karya puisinya sering terasa “vulgar” “kurang halus” dan kehilangan sentuhan puitisnya sendiri.
Silang Pendapat
Dari dulu, dua kutub ini saling silang pendapat. Kubu pertama berdalih, betapapun hebatnya pesan, jika tidak disanpaikan dengan pakem puitis, kehilangan nilai puisinya. Inti dari puisi terletak pada “etstetikanya.” Pada keindahannya. Tiada puisi tanpa estetika.
Sebaliknya pihak kedua berdalilh, semua “estetika” atau nilai puitis hanyalah “keindahan semu” jika tidak memberikan makna yang memadai. Puisi, bagaimana pun, harus punya makna. Punya pesan. Bukan cuma kata-kata salon tanpa atau kurang makna.
Debat “klasik” ini bukan hanya di ruang lingkup puisi, tapi juga pada bidang seni-seni lainnya.
Tentu, ada, bahkan banyak, penyair dan seniman yang mampu membuat puisi yang puitis dan estetis tetapi sekaligus juga bermakna, bernas dan subtil.
Tidak Gagap Soal Teknis
Memang (seharusnya) penyair yang baik sudah tidak lagi gagap dengan soal-soal teknis. Penguasa “unsur puitis” atau “estetika” sudah mendarah daging, sehingga sudah menjadi “alat” ekspresi menyampaikan pesan.
Sebaliknya, ada puisi penyair yang tidak atau kurang memiliki nilai “puitis” atau “estetika,” tapi maknanya juga kosong dan hanya memamah biak yang sudah dikemukakan penyair lain sebelumnya. Puisi ini sejatinya gagal sebagai puisi. Sedihnya harus kita akui, puisi yang bermunculan belakangan ini di media sosial, termasuk dari sejumlah mereka yang telah menamakan diri “penyair, ” karyanya ada di claster ini.