Sebagian besar penyair boleh jadi mengalami dilema semacam ini. Penyelesaiannya berbeda-beda. Menghadapi hal ini, banyak sekali varian penyelesaiannya. Ada penyair yang memang terasa lebih mementingkan penciptaan estetik, sedang aspek pesan disesuaikan dengan estetika itu. Pesan tunduk pada nilai puitik atau puitis. Sebaliknya, ada pula yang lebih mengutamakan “pesan” ketimbang nilai-nilai artistik.
Jangan pula dilupakan ada penyair yang karena pengalaman dan karakter dan bakatnya begitu kuat, sudah otomatis dapat mengabungkan estetika dengan pesan sekaligus secara serasi dan selaras. Mereka sama sekali tidak menghadapi persoalan ini. Itulah para penyair yang hebat.
Tidak Mengambil Posisi
Dimana posisi saya? Saya tak mengambil posisi apapun atau dimanapun. Sepanjang menurut intuisi dan pemikiran kepenulisan saya, puisi yang saya buat sudah memadai, saya “lepas” ke publik. Biarlah publik yang menilainnya.
Ada yang menilai di beberapa puisi saya, saya tidak memperhatikan adanya pengulangan kata. Padahal bukannya saya tak faham soal itu, tapi bagi saya jika tidak mengganggu secara keseluruhan pengulangan kata bukanlah masalah.
Ketika menulis puisi, saya hanya ingin mengekspresikan perasaaan, suasana hati, imajinasi, pemikiran, analisis di karya puisi, dengan cara saya sendiri. Dengan identitas saya sendiri. Dengan karakter saya sendiri. Urusan penilaian mana yang lebih menonjol, apakah “estetika” atau “pemaknaan” saya serahkan kepada publik untuk menilainya. Juga kepada kritikus untuk memuji atau mengencamnya.
Tugas penyair adalah menciptakan puisi ytang sesuai dengan bakat dan karakternya. DNAnya sendiri. Bukan untuk memuaskan “selera” publik, atau memenuhi anjuran kritikus. Tapi itu tak berarti penyair tak harus belajar dan patut berlaku bebal. Penyair harus tetap menghormati aspek-aspek keilmuan dalam menciptakan karya, tetapi melalui pendekatan yang independen. Yang personal. Yang mencerminkan prinadinya sendiri. Hatinya sendiri. Pemikirannya sendiri.
T a b i k.*