Namun, celakanya, sering kali banyak penyair “terjebak” dalam pengejaran nilai-nilai “puitis” atau “estetis,” sehingga melupakan subtansi atau pesan atawa “massage. ” Walhasil puisi mereka seperti produk yang mengutamakan kemasan yang menarik tapi isinya sebenarnya hampar. Puisi semacam itu tak bicara apa-apa, sejatinya.
Sebaliknya banyak penyair yang terlampau mementingkan “subtansi” atau “isi” atau “massage” tapi kurang memperhatikan liris, ritme, diksi, kata atau kalimat yang bersifat “estetis” atau “puitis.” Akibatnya hasil karya puisinya sering terasa “vulgar” “kurang halus” dan kehilangan sentuhan puitisnya sendiri.
Silang Pendapat
Dari dulu, dua kutub ini saling silang pendapat. Kubu pertama berdalih, betapapun hebatnya pesan, jika tidak disanpaikan dengan pakem puitis, kehilangan nilai puisinya. Inti dari puisi terletak pada “etstetikanya.” Pada keindahannya. Tiada puisi tanpa estetika.
Sebaliknya pihak kedua berdalilh, semua “estetika” atau nilai puitis hanyalah “keindahan semu” jika tidak memberikan makna yang memadai. Puisi, bagaimana pun, harus punya makna. Punya pesan. Bukan cuma kata-kata salon tanpa atau kurang makna.
Debat “klasik” ini bukan hanya di ruang lingkup puisi, tapi juga pada bidang seni-seni lainnya.
Tentu, ada, bahkan banyak, penyair dan seniman yang mampu membuat puisi yang puitis dan estetis tetapi sekaligus juga bermakna, bernas dan subtil.
Tidak Gagap Soal Teknis
Memang (seharusnya) penyair yang baik sudah tidak lagi gagap dengan soal-soal teknis. Penguasa “unsur puitis” atau “estetika” sudah mendarah daging, sehingga sudah menjadi “alat” ekspresi menyampaikan pesan.
Sebaliknya, ada puisi penyair yang tidak atau kurang memiliki nilai “puitis” atau “estetika,” tapi maknanya juga kosong dan hanya memamah biak yang sudah dikemukakan penyair lain sebelumnya. Puisi ini sejatinya gagal sebagai puisi. Sedihnya harus kita akui, puisi yang bermunculan belakangan ini di media sosial, termasuk dari sejumlah mereka yang telah menamakan diri “penyair, ” karyanya ada di claster ini.