“Di sana diperlihatkan gaya dansa-dansi, beragam warna musik, fashion dari kebaya hingga baju modern, makanan cemilan, bahkan juga motor skuter yang dipakai oleh pemain. Dimensi kulturalnya masuk semua!’
Sementara itu menampilkan nasionalisme di jaman kini bisa dimunculkan dalam berbagai hal. Selain soal budaya, fashion, jenis makanan tertentu, bisa pula memperlihatkan daerah tertentu dengan lebih detail.
“Misalnya jika lokasi syuting di Papua, bisa diperlihatkan bagaimana kondisi kantor Pemrov Papua seperti apa!”ungkap Zinggar.
Nasionalisme masih kata Ziggar, bisa berubah format dan berganti wajah, tetapi di era globalisasi seperti sekarang ini nasioalisme lebih berkembang ke arah kolaborasi, “bahwa kita sadar hidup sejajar dalam masyarakat global!”
“Apa yang bisa kita produksi di Indonesia, film misalnya. Bisa dikirim ke luar negeri atau ke negeri serumpun. Dengan menggunakan bahasa Melayu maupun bahasa Indoesia. Ini sebetulnya juga bagian dari nasionalisme tersebut!”
Lebih jauh Zinggara mengigatkan, penting untuk melihat dan belajar dari apa yang dilakukan Korea dengan industri keseniannya.
“Kita kenal Kimci dari drama mereka, kita mendengar dan musik mereka. Di jaman globalisasi seperti sekarang ini kolaborasi adalah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.”
Ketua Panitia FFWI, Wina Armada di ujung pertemuan menyebut, “Sayap-Sayap Patah” telah mematahkan mitos, bahwa film yang bersifat nasionalis dan berkaitan dengan kebangsaan, mampu laku untuk diserbu penonton.
“Dari sisi finasial, kalau dihitung ada 2 juta yang menonton Sayap-Sayap Patah, berarti produser minimal mengantongi Rp 40 M. Kita gembira, film yang mengadung nasionalisme, juga bisa menghasilkan angka yang menjanjikan! XPOSEINDONESIA Foto : Dokumentasi