Nasionalisme dalam Film Bukan Cuma Perlawanan Terhadap Kolonial

Namun Ada Dimensi Kultural Yang Perlu Terlihat, Mulai dari Fashion, Food dan Lokasi Syuting

- Advertisement -

“Sayap-Sayap Patah“  adalah film drama yang sangat entertaint, tapi tidak meninggalkan sisi cinta pada negara.  “Ada kisah polisi yang kalah, bahkan ada korban di Mako Brimop!” ujar Denny yang muncul sebagai pembicara dalam Webinar FFWI ini bersama Zinggara Hidayat  (penulis buku Jejak Usmar Ismail)  dengan moderator  wartawan senior, Rita Sri Hastuti

Edi Suwardi Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM)  Kemendikbud Ristek RI yang  mendukung acara ini, dalam sambutannya menyebut,  di zaman dulu,  kata nasionalisme dianggap berat dan  sulit diterjemahkan dalam cerita dan gambar.

“Ada kesan, kata itu akan memunculkan karya serius,  cenderung  kaku dan tidak bakalan laku untuk dinikmati penonton,” ujar Edi

- Advertisement -

Sebagai sebuah seni, lanjut Edi, kita tahu film  tidak hanya digunakan sebagai tontonan.

“Fungsi dan esensi film telah  berkembang menjadi media seni yang mampu mentransformasi nilai-nilai kemanusiaan, religi, pendidikan, hingga tentang nasionalisme yang bisa menjadi tuntunan, sekaligus menjadi tontonan yang laku untuk dinikmati penonton.

“Tema nasionalisme bisa mencair dalam cerita  yang memuat pesan baik, seperti rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan, mau saling bekerja sama,  mau saling menghormati dan menghargai  perbedaan, sekaligus selalu bangga menjadi  warga negara Indonesia,” ungkap Eddy.

- Advertisement -

Sementara itu Zinggara Hidayat, penulis buku _Jejak Usmar Ismail_ menyebut, nasionalisme dalam film memang tidak diartikan kaku hanya memperlihatkan perlawanan terhadap kolonial, munculnya uniform (seragam)  dan bendera.

Zaman berubah, dan ada pula pergeseran pengertian nasionalisme. 

“Lebih jauh nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimesi kutural dengan cara yang soft. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi!” kata Zinggara.

Ia mencontohkan nasionalisme  jaman dulu di dalam film “Tiga Dara” karya Usmar Ismail dengan naskah ditulis M. Alwi Dahlan, misalnya.

- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -

Related news

- Advertisement -