Abdul Qodir secara retoris juga bertanya bagaimana bisa suap-menyuap dicatatkan dalam sebuah perjanjian yang jelas. Bahkan, karena PT PCN menunggak pembayaran kewajibannya kepada PT PAR, urusan ini sampai masuk ke Pengadilan Niaga dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
“Selain itu, jika memang ini suap karena kewenangan Mardani Maming sebagai bupati, mengapa PT PCN masih tetap melakukan pembayaran saat klien kami sudah tidak lagi menjabat,” kata Abdul Qodir.
Dalam dokumen jawabannya, KPK memang mengakui bahwa pembayaran masih berlangsung meskipun Mardani Maming telah berhenti dari jabatan bupati pada 2018. Bahkan, menurut catatan KPK, ada perjanjian baru antara PT PCN dengan PT PAR untuk merestrukturisasi utang PT PCN kepada PT PAR.
KPK tetap meyakini penyidik mereka telah mengantongi alat bukti permulaan yang cukup, antara lain setelah memperoleh keterangan dari 18 saksi. Tapi, menurut Abdul Qodir, semua saksi yang dimintai keterangan oleh KPK menyampaikan kesaksian de auditu.
Kesaksian de auditu adalah keterangan yang disampaikan karena mendengar dari orang lain. Saksi de auditu tidak melihat, mendengar, dan mengalami langsung peristiwa dari suatu perkara. Sejumlah pakar hukum menilai kesaksian de auditu hanya dapat dijadikan persangkaan, dan bukan alat bukti.
“Saksi yang diperiksa KPK itu kan kebanyakan menyatakan, ‘sepengetahuan saya’,” kata Abdul Qodir. “Jadi, mereka hanya mendengar cerita dari Almarhum Henry Soetio, sementara yang bersangkutan sudah tidak bisa lagi dimintai konfirmasi karena sudah meninggal dunia.”
Mardani Maming ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam dugaan korupsi terkait pelimpahan IUP ke PT PCN saat Bendahara Umum PBNU itu menjabat Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018. Mardani Maming, melalui tim kuasa hukumnya, mengajukan permohonan praperadilan atas status tersangkanya. Dimulai sejak Selasa, 19 Juli 2022, persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan berakhir dengan putusan pada Selasa, 26 Juli 2022. XPOSEINDONESIA -Foto : Dokumetasi