Panggung dibuka dengan suasana gelap, perlahan pada layar besar terlihat permainan multimedia sebaga ekspresi seni dalam satu panggung, yang dilengkapi konsep musikal utuh, di mana suara penyanyi membawakan aria, libretto dan recetativo, ditambah tarian tradisi kontemporer.
Tayangan multimedia yang ditawarkan menjadi estetika visual, yang tidak sekedar sebuah tempelan asal jadi. Terutama pada bagian yang memperlihatkan lautan dan kapal-kapal perang, suasana sendu dan mencekam tatkala Keumalahayati diam-diam menangis dan meratap di dalam hutan, sehabis suaminya dinyatakan gugur di medan laga, juga ruang -ruang dalam Kerajaan di mana Sultan Aceh berkuasa.
Pentas berbasis seni tari dan musik tradisi Aceh dikemas secara modern memperlihatkan peran Inong Balee yang dimainkan para Penari dari GCN yang memuculkan tiga tarian khas Aceh dalam koreografi baru yakni Tari Ranup Lampuan, Rencong dan Ratoh Kipah. Ketiganya merupakan tarian penting di Aceh, dan masing-masing punya makna berbeda. Tari Rencong misalnya, bercerita tentang semangat perempuan Aceh dalam memperjuangkan nilai hakiki kehidupan serta martabat dan keagungan manusia sebagai mahluk Tuhan.
Di atas panggung, kekuatan GCN sebagai kelompok tari, sangat menonjol terutama terlihat pada bagian dimunculkan perang kolosal yang dimainkan dalam koreografi tari apik di tengah kostum Aceh berwarna hitam dengan tambahan kain songket orange menyala.
Terharu & Bangga
Executive Produser GCN, Mira Arismunandar menyebut, panggung Keumalahayati kali ini, melibatkan make up artist dari para Sahabat Tuli yang merupakan hasil binaan Yayasan Perempuan Tangguh Indonesia.
Dua ahli waris keluarga Keumalahayati, Teuku Abdullah Sani dan Poecut Meurah Neneng yang hadir dalam pertunjukan di TIM, mengaku terharu sekaligus bangga. “Terima kasih kepada panitia yang telah mengupayakan pementasan ini. Karena bisa memperkenalkan sosok Keumalahayati sebagai perempuan pemberani dan cinta tanah air kepada publik, terutama kepada generasa Muda,”ungkap Teuku Abdullah Sani dan Poecut Meurah Neneng