Seperti Okeflix (nama ini tak ada hubungan dengan jenama sejenis yang lebih dulu ternama) mencoba memposisikan diri menyajikan tayangan dengan lebih spesifik.
Emha Elbana Markom dari Okeflix menyebut, “Kami membuka peluang untuk diisi oleh production house dari daerah yang memuat kearifan lokal dan budaya. Kami juga mensupport penggiat film dengan program crowdfounding serta pitching produksi film yang melibatkan penggiat.”
Sementara itu, sutradara Garin Nugroho menilai maraknya webseries yang ditayangkan via OTT muncul karena adanya permintaan pasar yang memang semakin meninggi.
Di sisi lain, Garin mengingatkan bahwa sumber daya manusia yang mampu mengerjakannya belum 100 persen siap.
“Kultur bikin seri dalam penulisan skenario, sistem industri, belum memadai untuk mengisi konten OTT lokal Indonesia. Jika tak segera ditangani, akan terjadi pasar banal. Ini mirip kasus sinetron di televisi akan berulang.”
“Karya-karya yang tidak cukup dihargai meski dikonsumsi begitu banyak akan mengalami kejenuhan di pasar yang luar biasa,” sambungnya.
Garin juga mengungkap kekhawatiran, bahwa dengan tingginya kebutuhan mengisi konten, “membuat cara produksi serial menjadi kurang profesional karena mengejar waktu, juga ada upaya menekan biaya!”
Pengamat film Yan Wijaya menyebut sepanjang tahun 2020 ada sekitar 120 judul film bioskop yang diproduksi. “Namun ada 60 judul film lagi yang masih bimbang apakah tetap bisa ditayangkan di bioskop atau apakah ini bisa dipindah tayang ke OTT?” ia bertanya.
Rata rata OTT lokal yang hadir sebagai narasumber menjawab, “asal tema film dan harga jualnua bisa disesuai dengan kemampuan kita, tentu bisa dan tidak ada masalah!” jawab Ilhamka Nizam, XPOSEINDONESIA/NS Foto: Dudut Suhendra Putra