Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengaku terkejut. Ia baru tahu bahwa air yang digunakan untuk memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) merek Aqua bukan berasal dari mata air pegunungan seperti yang selama ini diyakini masyarakat, melainkan dari sumur bor di bawah tanah.
Kekagetan Dedi ternyata mewakili banyak orang. Selama puluhan tahun, publik Indonesia tumbuh dengan narasi bahwa Aqua adalah “air murni dari mata air pegunungan yang terlindungi”. Nyatanya, dalam industri AMDK modern, sumber air bawah tanah memang menjadi bahan baku utama—dengan alasan kestabilan volume, kontrol kualitas, dan efisiensi produksi.
Namun, perdebatan mulai menghangat ketika muncul anggapan bahwa praktik itu tidak sesuai dengan citra alami yang selama ini dibangun Aqua. Polemik makin ramai di media sosial, memaksa Danone Indonesia—perusahaan yang menaungi Aqua—mengeluarkan klarifikasi resmi pada 22 Oktober 2025 melalui laman resminya dengan judul yang tegas:
“Fakta di Balik Sumber Air AQUA: Klarifikasi atas Disinformasi di Media Sosial.”
Dalam pernyataan itu, Danone menyebut tudingan bahwa Aqua menggunakan air dari “sumur bor biasa” adalah tidak benar. Perusahaan menegaskan bahwa yang diambil tetap air dari sumber pegunungan, hanya saja menggunakan teknologi sumur dalam (deep well) untuk menjaga kemurnian dan mencegah kontaminasi.
“Sebagai pelopor air minum dalam kemasan di Indonesia, AQUA berkomitmen menjaga kualitas dan kemurnian air. Transparansi dan edukasi publik adalah kunci membangun kepercayaan,” tulis pernyataan resmi tersebut.
Namun klarifikasi itu tak serta merta menutup perdebatan.
Untuk membedah lebih dalam persoalan tersebut, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas MH Thamrin bersama Pentahelix Center menggelar Dialog Pentahelix bertajuk “Momentum Akuntabilitas Ekologi Berkelanjutan.”
Diskusi yang dimoderatori Alip Purnomo ini dihadirkan sebagai ruang dialog terbuka antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat.
Sayangnya, Aqua tidak hadir. “Padahal, forum kampus adalah ruang damai dan berimbang untuk berdialog. Dengan dialog, persoalan Aqua bisa lebih terang benderang bagi rakyat—agar masa depan alam raya tetap berkesinambungan,” ujar Alip
Air, Antara Sumber Kehidupan dan Komoditas
Salah satu pembicara, Prof. Dr. H. Muhammad Mufti Mubarok, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, menilai persoalan air ini harus ditempatkan dalam konteks hak konsumen dan tanggung jawab perusahaan.
“Saya kaget mendengar kabar soal sumber air itu. Pemerintah harus berdiri di tengah: satu kaki di pengusaha, satu kaki di konsumen,” katanya.
Menurut Mufti, pengawasan dan regulasi atas pengelolaan air minum dalam kemasan masih lemah. Ia menyoroti perlunya undang-undang yang memberi kewenangan lebih besar bagi lembaga konsumen agar dapat bertindak tegas terhadap pelanggaran etik maupun lingkungan.
“Kalau hanya mengandalkan laporan, hasilnya tidak maksimal. Kita perlu senjata seperti KPK versi konsumen,” ujarnya sambil menyebut indeks perlindungan konsumen kini terus meningkat.
Mufti juga menyarankan Aqua untuk mengubah narasi iklan agar lebih jujur dan edukatif.
“Jangan lagi pakai kata ‘air dari pegunungan’ kalau faktanya dari bawah tanah. Itu bisa menyesatkan publik,” tegasnya.
Krisis Air, Krisis Global
Nada yang lebih keras datang dari Ishak Rafick, aktivis dan pemerhati kebijakan sumber daya alam. Ia menyebut bahwa air kini telah menjadi komoditas geopolitik yang menentukan masa depan umat manusia.
“Ada empat hal yang akan memengaruhi dunia ke depan: air, pangan, logam, dan energi. Dan air adalah yang paling strategis,” katanya.
Menurut data yang disampaikannya, pasar air kemasan Indonesia mencapai 10,2 miliar dolar AS, dan Aqua menguasai sekitar 50 persen di antaranya.
Artinya, sekitar 5,1 miliar dolar AS per tahun mengalir ke satu perusahaan saja.
Ishak menilai dominasi pasar sebesar itu tak hanya berdampak ekonomi, tapi juga ekologis dan sosial. Ia mencontohkan praktik eksploitasi air tanah di Subang, Jawa Barat, di mana pengeboran mencapai kedalaman 30–140 meter.
“Rakyat kecil mengira itu air pegunungan asli, padahal yang diambil adalah air tanah dalam. Ini kebohongan publik yang sudah terjadi bertahun-tahun,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menuntut adanya akuntabilitas ekologis dari perusahaan besar, serta revisi undang-undang agar negara memperoleh porsi royalti dan pajak yang lebih adil.
“Kalau perusahaan bisa untung hingga 80 triliun per tahun, sementara pajak PDAM daerah cuma 600 juta per bulan, itu ketimpangan yang harus diubah. Air bukan hanya soal bisnis, tapi hak hidup rakyat,” ujarnya.
Transparansi dan Keberlanjutan: Jalan Tengah yang Masih Buram
Polemik Aqua menandai babak baru kesadaran publik soal air sebagai sumber daya strategis. Ketika kemasan plastik mudah dibuang, tapi sumber airnya terus disedot, publik wajar bertanya: siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan dari air kita?
Aqua mungkin benar ketika menyebut bahwa klarifikasinya berbasis data ilmiah dan regulasi. Namun, ketidakhadiran mereka di forum publik membuat kepercayaan itu belum sepenuhnya pulih.
Di tengah upaya bangsa ini membangun ekonomi berkelanjutan, transparansi dan partisipasi publik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Air bukan sekadar produk—ia adalah hak dasar kehidupan. Dan ketika air menjadi komoditas, tanggung jawab moral dan ekologis seharusnya menjadi bagian dari label setiap botol yang kita minum.
Sebagai penutup acara, Universitas MH Thamrin menggulirkan sebuah dokumen penting yang disebut Maklumat MH Thamrin — sebuah pernyataan bersama para akademisi, aktivis, dan komunitas Pentahelix.
Maklumat ini menyerukan penegakan akuntabilitas ekologis nasional, menuntut transparansi perusahaan air minum dalam kemasan, dan mendorong revisi kebijakan pengelolaan sumber daya air agar berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Maklumat tersebut diharapkan menjadi titik awal kesadaran baru, bahwa air bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan amanah ekologis yang harus dijaga bersama.
Karena pada akhirnya, air yang jernih tak akan berarti apa-apa bila transparansi justru keruh—dan masa depan bumi tergadai oleh sebotol air yang kita anggap murni. XPOSEINDONESIA Teks dan Foto NS


