Penampilan gahar SID, kampiunnya musik punk riock, begitu juga dengan Endank Soekamti yang selalu slengekan, sedang band Slank jualannya pada musik berbasis kritik sosial, The S.I.G.I.T, GIGI, Mocca, Sore dan banyak band indie lain, memanfaatkan sosial media dalam menjual fisik album ( dulu kaset, CD,atau vynil dan DVD ) , merchandise, atau menjual ticket pertunjukannya.
Band-band indie dengan segala aktivitasnya yang harus kreatif, mau gak mau harus mengandalkan manajemen yang tangguh. Itu terlihat pada Pos Production, manajemen GIGI dan band Omelette. Pos Production yang mengongkosi ultah GIGI di Stadion Istora Senayan dan membiayai rekaman GIGI di Studio Abbey, London – tahun ini.
Tapi, ada baiknyan kita memahami dinamika musik indie, yang mungkin datang dari otak para penggagasnya. Konser Rakyat Leo Kristi misalnya, album gresnya berjudul Hitam Putih Orche, seluruh cost produksi, distribusi dan promosinya dibiayai komunitas fans loyalnya, Lkers. Bentuk promosinya antara lain launching album besar-besaran di Taman Mini Indobesia Indah, membuat konser reuni dan diskusi tentang musik Leo Kristi di Surabaya. Untuk fisik albumnya yang hard cover Lkers pasti juga mengeluarkan biaya ekstra.
Trio produser yang berlatar belakang laweyer Kadri, Yeni dan Ninot dengan bendera YenNinotz Journey – yang melahirkan album kompilasi 10 band progresif rock Indonesia Maharddhika, biaya produksi albumnya yang ratusan juta perak, juga datang dari sistem crowdfunding – berebut ramai-ramai mendanai produksi. Patungan.
Yang unik, dana produksi album progrocvk Indonesia Maharddhika itu datang dari orang lintas partai, lintas profesi, lintas agama / keyakinan, lintas usia, mungkin juga lintas kegemaran musik, tapi sama-sama mengharapkan lahirnya karya berkualitas. Dari genre musik apapun.
Maka, yang menarik adalah munculnya nama Fadli Zon, Tantowi Yahya, Ferry Mulsidan Baldan, Wimar Witoelar, Once Mekel, Soerjoko, Hotman Paris Hutapea, Eri Riyana Hardja Pamekas, Chatib Basri, dan puluhan orang lainnya.