Sapta bersyukur setelah LCLDN sempat terhenti karena pandemi, kini dapat terlaksana kembali bahkan tahun ini dirilis dalam bentuk album Direktur Musik Dwiki Dharmawan sebagai arranger dan produser musik
“Sehingga album ini dapat dinikmati secara luas di seluruh Indonesia bahkan dunia melalui platform digital”.
“Ajang LCLDN ini, bertujuan untuk melestarikan bahasa bahasa Nusantara melalui Musik dan Lagu. Dengan harapan, generasi muda kembali bangga dan memberikan apresiasinya terhadap Bahasa Daerah,” kata Sapta lagi.
Lagu Daerah Bisa Mendunia Lewat Rilis Digital
Karya dari 12 Finalis LCLDN ini mewakili kearifan lokal Nusantara, baik kekayaan bahasa daerahnya, maupun kekayaan musiknya dan yang pasti sesuai dengan musik kekinian.
“Kang Dwiki telah membuat aransemen yang memiliki universalitas rasa internasional dan juga radio friendly. Dengan ditayangkan di Spotify, lagu daerah Indonesia bisa didengar ke seluruh dunia,” papar Ivan Nestorman salah satu anggota dewan juri LCLDN 2023.
Sementara itu, Ibu Oneng dari Kemenparekraf menyambut baik dan mengapresiasi ajang LCLDN.
”Karena kami melihat musik sebagai salah satu dari 17 sektor Ekonomi Kreatif yang harus kita kembangkan bersama. Karena ajang ini memperlihatkan keragaman budaya yang luar biasa dan patut dilestarikan dan ditularkan kepada generasi muda.”
Ibu Oneng juga mengingatkan sebetulnya posisi Indonesia tidak kalah dengan Korea, “hanya bagaimana kita bersama-sama mau untuk terus mengembangkan lagi. Karena untuk Ekonomi Kreatif posisi Indonesia diurutan ketiga setelah Amerika dan Korea. Mudah-mudahan ke depan, kita bisa meningkatkannya lagi,” ujar Ibu Oneng.
12 Lagu Finalis LCLDN yang dirilis ini adalah sbb:
“Baku Kele“, karya Freitsna Sopaheluwakan, Ambon-Maluku.
“Papa Modhe“, karya Eutimirius Lodha ,Ngada-NTT.
“Mahi Mahi Nebei Be M’Bai“ karya Stephen Irianto Wally, Sentani-Papua.
“Arta Ta”” karya Daniel Yohansen Martin, Batak Toba-Sumatera Utara