
Jazz Camp Bromo bukan sekadar pelatihan musik. Di tengah eksotisme lereng Gunung Bromo, tumbuh sebuah gerakan penting untuk regenerasi jazz Indonesia.
Digelar pada akhir Juli 2025, di antara dua rangkaian BRI Jazz Gunung Series, sepuluh musisi muda Indonesia berkumpul dalam ruang residensi kreatif: Jazz Camp.
Selama enam hari penuh, mereka menjalani pelatihan intensif—bukan hanya soal teknik bermain, tapi juga pembentukan karakter musikal, kerja kolektif, dan pembuktian talenta.
Jazz Camp dipimpin oleh Kevin Yosua, bassis muda berbakat yang membuka ruang bagi alumni terbaik dari Jazz Camp Solo sebelumnya. Ia tidak sendiri. Hadir pula mentor papan atas: Sri Hanuraga (pianis), Hansen Arief (drummer), Alfado Jacob (gitaris), dan Monita Tahalea (vokalis), yang baru saja bergabung memperkuat tim pengajar.
“Dari pagi sampai malam, mereka belajar di Master Class dan Private Class. Ini bukan sekadar belajar jazz, tapi belajar menjadi musisi sejati,” ujar Kevin.
Amosfir Pelatihan
Jazz Camp Bromo adalah kelanjutan dari Jazz Camp Solo, yang disambut hangat dengan lebih dari 40 peserta. Dari sana, 10 terbaik disaring dan dibawa ke Bromo.
Atmosfer pelatihan yang menyatu dengan alam memberi pengalaman tak tergantikan bagi para peserta—musisi muda berbakat yang masih berusia belasan hingga awal dua puluhan.
Di akhir program, para peserta tampil di panggung BRI Jazz Gunung Series 2, Sabtu 26 Juli 2025. Mereka tidak tampil sendiri, melainkan bersama penyanyi muda Natasya Elvira. Para mentor juga ikut naik panggung dalam sebuah jam session terbuka untuk publik.
Kehadiran Jazz Camp menjadi oase dalam ekosistem jazz nasional, yang sering kali terjebak dalam wacana “festival jazz yang kurang ngejazz”.
Di tengah diskusi soal relevansi dan popularitas jazz, program seperti ini adalah jawaban konkret terhadap kebutuhan regenerasi.
Menurut Kevin dan Sri Hanuraga, semangat belajar para peserta patut diapresiasi. “Mereka sangat antusias. Bahkan lebih siap dibanding kami dulu di usia mereka,” ujar Aga, sapaan akrab Sri Hanuraga.
Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Bagas Indyatmono, Direktur Jazz Gunung Indonesia, yang membuka ruang residensi kreatif sebagai bentuk keberpihakan terhadap pembinaan musisi muda.
“Ini kelanjutan dari komitmen kami sejak Jazz Camp di Solo. Sekarang kami beri mereka panggung,” kata Bagas.
Indonesia tak pernah kekurangan bakat jazz. Dari era 1980-an hingga sekarang, banyak musisi muda menonjol bahkan sampai menimba ilmu ke luar negeri.
Namun regenerasi tak akan berjalan tanpa ruang tampil. Ketika ruang diberikan, mereka bisa mengasah jam terbang dan membangun basis pendengar.
Seperti halnya Joey Alexander yang membangkitkan semangat lewat kiprah globalnya, kini banyak nama baru mulai muncul—dari keyboardist hingga saxophonist—yang tumbuh bukan hanya dari sekolah formal, tapi juga dari ekosistem sehat, seperti Jazz Camp.
Masalah sering bukan pada kualitas musisinya, tapi pada persepsi pasar. Mereka dianggap belum kuat jadi magnet penonton.
Maka tak jarang festival jazz memasukkan musisi non-jazz demi mendongkrak tiket. Realitas yang bisa dimaklumi, tapi tetap menyisakan pertanyaan: mengapa tidak sekalian buat festival musik umum?
Harapan tetap ada pada ruang seperti Jazz Camp, tempat talenta dirawat dan diberi panggung. Idealnya, program ini diikuti dengan tumbuhnya lebih banyak jazz club sebagai ruang tampil rutin—bukan hanya festival tahunan.
Jazz Camp Bromo kali ini layak disebut sebagai simbol harapan. Bahwa regenerasi jazz Indonesia sedang berjalan ke arah yang sehat. Tinggal bagaimana promotor dan pengambil kebijakan mau memberi mereka kesempatan yang layak.
Karena dari lereng Bromo, suara jazz muda Indonesia sedang bergema. XPOSEINDONESIA /DM Foto :Jazz Gunung Bromo