Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan bagian apokrif kisah Petrus, berbunyi: Domine, quo vadis? “Tuhan, ke mana Engkau pergi?” Kalimat sohor ini merupakan ungkapan Kristiani yang menurut tradisi Gereja dilontarkan kepada Yesus Kristus oleh Santo Petrus yang saat itu bertemu dengan Yesus dalam perjalanan hendak melarikan diri dari misinya yang berisiko disalibkan di Yerusalem, di bawah pemerintahan Romawi antara 30-36 Masehi.
Setelah itu, diksi quo vadis galib digunakan dalam bahasa pergaulan.
Lantas dalam konteks masa bakti Ketua Komite FFI Reza Rahadian yang telah purna tahun 2023 ini, siapa penggantinya ke depan? Quo vadis Komite FFI? Santer beredar di kalangan wartawan, konon ada nama yang telah disiapkan dan disorongkan oleh Badan Perfilm Indonesia (BPI). Benarkah begitu Sudah benarkah jalan itu?
Setelah Lukman Sardi, dan Reza Rahadian siapa lagi yang akan duduk sebagai ketua Komite FFI yang dalam penyelenggaraan pesta film tahunan itu, yang ditimbang semakin berjarak dengan masyarakat dan asyik dengan dirinya sendiri itu?
Dan apapula kewenangan BPI sebagai lembaga swasta mandiri menyorongkan nama tertentu? Tidak bisakah orang film, juga masyarakat perfilman di luar BPI, turut mengajukan kandidat nama lainnya?
Di mata Akhlis Suryapati selaku Ketua Sinematek Indonesia, BPI sudah mati, karena salah mengartikan semangat awal pembentukannya. Bahkan sejak tahun 2014 saat BPI melakukan interpretasi pada dirinya sendiri yang keliru, dengan membuat aturan-aturan baru, marwah penyelenggaraan FFI menjadi imbasnya. Dan tidak sesuai lagi dengan marwah FFI yang pertama kali diprakarsai oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertama FFI tahun 1955.
Seperti ada klausul di BPI yang mengatakan Komite FFI yang baru harus tunduk dengan komite yang lama. “Kekacauan ini terus dipelihara sampai kini. Hasilnya, apakah penyelenggaraan FFI menjadi lebih baik? Tidak, karena kawan-kawan wartawan diberi permen bernama FFWI, sehingga tidak mempunyai daya kritis lagi dengan FFI,” kata Akhlis.