Dari Diskusi Wartawan PWI : Gelar Segera Musyawarah Film Nasional, Untuk Atasi Persoalan Perfilman Indonesia

- Advertisement -
- Advertisement -

Ketua Komite FFI Reza Rahadian telah menyelesaikan tugas  selama tiga tahun  dan berakhir di tahun 2023.  Dan penyelenggaraan puncak FFI  pada 14 November 2023 di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan itu menjadi tugas terakhir Reza  sebagai Ketua Komite. Hingga berita ini ditulis belum diketahui siapa calon pengganti Reza yang akan menjabat Ketua Komite FFI sepanjang masa tugas tiga tahun ke depan.

Badan Perfilman Indonesia (BPI) bisa memilih Ketua  Baru dengan sistem  pemilihan yang terbuka dan demoktratis, dengan melibatkan beragam asosiasi  perfilman di dalamnya. Namun benarkah diam-diam   malah BPI sudah menyiapkan  Calon Ketua  FFI  pengganti Reza? Apakah organisasi dan orang-orang yang terkait dengan  perfilman  bisa langsung menerimanya, atau sebaliknya bolehkah ditolak?

Pernyataan di atas  menjadi topik perbincangan hangat dalam diskusi  publik, Siapa Ketua Penyelenggaraan  FFI Tahun 2024 dan Tiga Tahun  Berikutnya, Quo Vadis  Komite FFI  yang digelar PWI Pusat Seksi Film dan Musik di  Groove Hotel, 22/12/2023.

- Advertisement -

Dalam undangan diskusi yang beredar untuk wartawan, tertera sejumlah narasumber yang akan dihadirkan, antara lain Deddy Mizwar (Ketum PPFI), Lola Amaria (Produser dan Sutradara Film), Reza Rahadian (Mantan Ketua Komite FFI), Gunawan Panggaru (Ketua BPI) dengan moderator Benny Benke.

Namun ternyata yang muncul hanya Lola Amaria, (Produser), Nukman Hakim (Sutradara) dan Aklis  Suryapati (Kepala Sinematek Indonesia). Ketua BPI Gunawan Panggaru berhalangan karena waktu penyelenggaraan yang berubah dan berganti hari. Demikian juga Reza Rahadian, Ketua Komite FFI yang telah memasuki purna tugas itu, tidak dapat meninggalkan lokasi syuting di menit terakhirnya penyelenggaraan diskusi.

Interpretasi Keliru

- Advertisement -
Menyalin

Mengawali pembicaraan,  Aklis  mencoba menjelaskan istilah Quo vadis  yang menjadi judul acara. Menurut Aklis Quo Vadis adalah kalimat bahasa latin yang terjemahannya secara harfiah berarti “Ke Mana Engkau Pergi?”

Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan bagian apokrif kisah Petrus, berbunyi: Domine, quo vadis? “Tuhan, ke mana Engkau pergi?” Kalimat sohor ini merupakan ungkapan Kristiani yang menurut tradisi Gereja dilontarkan kepada Yesus Kristus  oleh Santo Petrus yang saat itu bertemu dengan Yesus dalam perjalanan hendak melarikan diri dari misinya yang berisiko disalibkan di Yerusalem, di bawah pemerintahan Romawi antara 30-36 Masehi.

Setelah itu, diksi quo vadis galib digunakan dalam bahasa pergaulan.

Lantas  dalam konteks masa bakti Ketua Komite FFI Reza Rahadian yang telah purna tahun 2023 ini, siapa penggantinya ke depan? Quo vadis Komite FFI? Santer beredar di kalangan wartawan, konon ada nama yang telah disiapkan dan disorongkan oleh Badan Perfilm Indonesia (BPI). Benarkah begitu Sudah benarkah jalan itu?

Setelah Lukman Sardi, dan Reza Rahadian siapa lagi yang akan duduk sebagai ketua Komite FFI yang dalam penyelenggaraan pesta film tahunan itu, yang ditimbang semakin berjarak dengan masyarakat dan asyik dengan dirinya sendiri itu?

Dan apapula kewenangan BPI sebagai lembaga swasta mandiri menyorongkan nama tertentu? Tidak bisakah orang film, juga masyarakat perfilman di luar BPI, turut mengajukan kandidat nama lainnya?

Di mata Akhlis Suryapati selaku Ketua Sinematek Indonesia, BPI sudah mati, karena salah mengartikan semangat awal pembentukannya. Bahkan sejak tahun 2014 saat BPI melakukan interpretasi pada dirinya sendiri yang keliru, dengan membuat aturan-aturan baru, marwah penyelenggaraan FFI menjadi imbasnya. Dan tidak sesuai lagi dengan marwah FFI yang pertama kali diprakarsai oleh Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada penyelenggaraan pertama FFI tahun 1955. 

Seperti ada klausul di BPI yang mengatakan Komite FFI yang baru harus tunduk dengan komite yang lama. “Kekacauan ini terus dipelihara sampai kini. Hasilnya, apakah penyelenggaraan FFI menjadi lebih baik? Tidak, karena kawan-kawan wartawan diberi permen bernama FFWI, sehingga tidak mempunyai daya kritis lagi dengan FFI,” kata Akhlis.

Akhlis Suryapati menambahkan,  terlalu banyak persesengkongkolan dalam sistem perfilman Indonesia. Karenanya, dia meminta semua persesengkongkolan dibatalkan, termasuk dalam pengajuan nama tertentu oleh BPI demi mendudukkan nama tersebut sebagai Ketua Komite FFI selanjutnya.

“Caranya dengan membentuk komite baru. Karena BPI dari awal adalah sebuah badan yang keliru. Lihat itu AMPAS ( Academy of Motion Picture Arts and Sciences) yang menyelenggarakan piala Oscar adalah swasta murni yang sebenarnya,” kata Akhlis Suryapati

Akhlis ingin mengatakan, sebagai lembaga swasta mandiri BPI nyatanya masih menghamba dan menempel ke pemerintah. Buktinya, FFI masih dibiayai pemerintah, tapi seolah dikuasai BPI sendiri.

“Kedaulatan masyarakat film hari ini tidak kita miliki, dan harus kita rebut. BPI gagal melakukan (menegakkan kedaulatan) itu. Karena BPI sibuk rebutan proyek, dan menghamba kepada pemerintah,” imbuh Akhlis sembari menegaskan, BPI bahkan telah menjadi portal bagi film maker Indonesia yang mau memutar film ke jaringan bioskop XXI.

“Ini terjadi bukan karena BPI jahat. Tapi BPI mentalnya kacung, menghamba,” tekan Akhlis Suryapati sembari menyorongkan solusi penyelenggaraan Musyawarah Film Nasional.

“Harus ada musyawarah film nasional, setelah itu susun ulang pondasi (perfilman Indonesia). Agar yang akan dilakukan BPI mau melegitimasi rencana persesengkokolan mereka batal,” kata Akhlis lagi.

Asosiasi Film Tidak Membantu Anggota

Hal senada diungkapkan Nurman Hakim. Selalu sutradara dan akademisi, Nurman berharap Musyawarah Film Nasional dapat menjadi ajang rembuk nasional para stakeholder perfilman Tanah Air. Caranya menghadirkan semua pemangku kepentingan, hingga persona di luar asosiasi demi membuat forum besar.

“Orang yang diundang bukan hanya dari BPI juga asosiasinya. Harus ada akademisi di sana, bahkan wartawan hingga budayawan harus dilibatkan, demi merumuskan formula yang paling mustahak,” kata Nurman Hakim.

Nurman menjelaskan, sependek pengetahuannya, banyak film maker yang tidak dan emoh begabung dalam sebuah asosiasi perfilman di Indonesia, karena berbagai alasan. “Makanya kawan kawan IKJ sering bercanda, yang menang FFI pasti kawan-kawan jurinya yang tergabung dalam asosiasi yang sama. Atau FFI adalah festival film untuk kawan sendiri,” kata kandidat Doktor dan pengajar di IKJ dan UMN, itu.

Nurman menambahkan, BPI yang dikelola adalah asosiasi asosiasi yang hanya bekerja setahun sekali, saat FFI diselenggarakan. Tapi saat ada keluhan dari anggotanya, seperti para aktor yang mandeg pembayarannya, dan produser yang mumet menghadapi XXI, misalnya. Karena persoalan pembagian dan mendapatkan layar bioskop, BPI ke mana saja? “Harusnya asosiasi asosiasi itu, juga BPI mampu memberikan solusi dan menyelesaikan persoalan itu,” kata Nurman.

Di Hollywood, kata Nurman Hakim lagi, asosiasi perfilmannya tidak seperti asosiasi perfilman di Indonesia yang tidak bertaji. Di AS, asosiasi perfilmannya mampu memberikan fasilitas dan melindungi anggotanya.

“Asosiasi di AS mempunyai kekuatan, melindungi dan mengayomi anggotanya. Sedangkan di Indonesia, asosiasinya kalau ada anggota mempunyai masalah, tidak ada yang membantu, tidak juga BPI,” katanya.

Makanya dia bersepakat untuk melakukan perbaikan, salah satunya dengan melakukan musyawarah perfilman Indonesia, yang kemudian, mungkin salah satu hasilnya menghasilkan  satgas perfilman di sana

Dibiarkan Berjuang Sendiri

Lola Amaria, selaku aktris, sutradara dan produser film mengaku banyak mempunyai pengalaman tidak mengenakkan saat meminta layar ke XXI. Karena harus dan selalu berjuang sendirian, sementara BPI sebagai lembaga yang harusnya menjadi payung insan film tidak melakukan apa-apa.

Seperti saat ini, dia telah mengajukan mendapatkan layar bioskop ke pihak XXI sejak Mei tahun ini, bahkan sampai akhir Desember 2023 ini, permintaannya mendapatkan layar belum mendapatkan lampu hijau.

“Kita mempunyai BPI yang katanya menangungi kita, tapi mana kiprahnya. Bagaimana kita mau mendapatkan keadilan layar, karena tidak ada sistem yang jelas. Katakan saya mau ngadu ke BPI, tapi BPI bisa apa (menghadapi XXI)”, kata Lola Amaria yang film Exile-nya baru saja mendapatkan Piala Citra pada gelaran FFI 2023.

“Lalu ada persoalan jam kerja dalam proses produksi, siapa yang mampu melindungi aktor, dan kru film, juga pelecehan seksual selama proses produksi. Untuk apa ada BPI kalau tidak mampu berbuat apa-apa,” katanya lagi.

Hal ini ini terjadi karena menurut Lola, posisi BPI dalam perfilman Indonesia tidak jelas. “Apa manfatnya bagi orang film. Mungkin tidak ada. Ada atau tidak ada BPI semu berjalan secara auto pilot,” kata Lola masygul. Makanya Lola mengusulkan harus ada optimalisasi BPI, agar manfaat keberadaannya dirasakan pekerja film  Indonesia. Lola mengatakan, BPI juga FFI baik bagi yang punya kepentingan di sana.

Lola Amaria menambahkan, soal pajak film. Menurut dia, pajak film Indonesia sangat besar, tapi pajaknya di ke manakan yang 20 persen itu untuk wilayah Jakarta. padahal tahun ini, sepengamatanya, film Indonesia dapat dikatakan sangat merajai layar film nasional, “Jadi XXI tidak boleh sombong dengan film Indonesia lagi,” katanya.

Fitriawan Ginting, wartawan senior film dan pengurus PWI Pusat Sie Musik dan Film mengusulkan, demi mengurai benang kusut persoalan perfilman di Indonesia, perlu dibentuk Satgas Perfilman.

“Seperti dunia sepakbola yang membentuk satgas sepakbola, sangat dimungkinkan perfilman juga membentuk satgas perfilman. Agar persesengkokolan dan monopoli layar bioskop sekalipun dapat diawasi,” katanya.

Meski menurut Akhlis, XXI sudah dua kali dituntut via peradilan persaingan usaha, tapi dua kali pula memenangkan kasusnya.XPOSEINDONESIA Foto : Dokumentasi

diskusi publlik yang digelar oleh pwi puaat seksi film dan musik
diskusi publlik yang digelar oleh pwi puaat seksi film dan musik
- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -