
Pandemi Covid 19 memaksa masyarakat tetap berada di dalam rumah. Dalam kondisi ini, budaya menonton ke gedung bioskop untuk sementara waktu terpaksa ditangguhkan.
Di tengah situasi serba terbatas, ternyata lahir minat masyarakat untuk mencari hiburan dan menonton melalui aplikasi layanan Over The Top (OTT).
OTT adalah layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet dengan jenis streaming video, seperti Youtube, Netfix dan lain-lain. Layanan ini bisa diakses secara gratis maupun berlangganan dan berbayar.
Pandemi memicu masyarakat mencari alternatif tontonan via OTT dan membuat posisi OTT nasional besutan anak bangsa semakin dicari.
Ilhamka Nizam dari Stro mengakui, “Memang ada peningkatan dalam jumlah pengakses di Stro sepanjang masa pandemi!” katanya dalam diskusi daring Kemendikbud (2/2) yang dihadiri pula oleh wakil dari Okeflix, Vidio, sutradara Garin Nugroho dan Kepala Pokja Media Baru dan Arsip Film dan Musik, Tubagus Andre.
Sukses meraih penonton secara cepat meraih penonton dialami pula oleh Vidio. Pada bulan April 2020, mereka sempat menduduki peringkat pertama pada Top Chart App Store dan Google Play pada bulan April 2020 sebagai aplikasi nomor 1 yang paling banyak diunduh.
Diikuti dengan pencapaian lain, Vidio mengalami peningkatan pada jumlah pengguna aplikasi aktif per bulan yang mencapai 62 juta.
“Konten kami bisa diakses dengan free dan juga berbayar. Masyarakat mengakses Vidio untuk konten olahraga, live streaming juga original web series. Spesial untuk original series kami buat sangat berbeda dengan sinetron,” ungkap Tina Arwin Chief Content Officer dari Vidio
Mendukung PH Lokal
Para pemain di OTT lokal terlihat berupaya saling bersaing dalam berkreasi menyajikan konten terbaik, dan sambil berupaya bersaing dengan OTT multinasional.
Seperti Okeflix (nama ini tak ada hubungan dengan jenama sejenis yang lebih dulu ternama) mencoba memposisikan diri menyajikan tayangan dengan lebih spesifik.
Emha Elbana Markom dari Okeflix menyebut, “Kami membuka peluang untuk diisi oleh production house dari daerah yang memuat kearifan lokal dan budaya. Kami juga mensupport penggiat film dengan program crowdfounding serta pitching produksi film yang melibatkan penggiat.”
Sementara itu, sutradara Garin Nugroho menilai maraknya webseries yang ditayangkan via OTT muncul karena adanya permintaan pasar yang memang semakin meninggi.
Di sisi lain, Garin mengingatkan bahwa sumber daya manusia yang mampu mengerjakannya belum 100 persen siap.
“Kultur bikin seri dalam penulisan skenario, sistem industri, belum memadai untuk mengisi konten OTT lokal Indonesia. Jika tak segera ditangani, akan terjadi pasar banal. Ini mirip kasus sinetron di televisi akan berulang.”
“Karya-karya yang tidak cukup dihargai meski dikonsumsi begitu banyak akan mengalami kejenuhan di pasar yang luar biasa,” sambungnya.
Garin juga mengungkap kekhawatiran, bahwa dengan tingginya kebutuhan mengisi konten, “membuat cara produksi serial menjadi kurang profesional karena mengejar waktu, juga ada upaya menekan biaya!”
Pengamat film Yan Wijaya menyebut sepanjang tahun 2020 ada sekitar 120 judul film bioskop yang diproduksi. “Namun ada 60 judul film lagi yang masih bimbang apakah tetap bisa ditayangkan di bioskop atau apakah ini bisa dipindah tayang ke OTT?” ia bertanya.
Rata rata OTT lokal yang hadir sebagai narasumber menjawab, “asal tema film dan harga jualnua bisa disesuai dengan kemampuan kita, tentu bisa dan tidak ada masalah!” jawab Ilhamka Nizam, XPOSEINDONESIA/NS Foto: Dudut Suhendra Putra