Bagi masyarakat Solo, khususnya di sekitar Pasar Klewer, nama Lusi Caritas sudah tidak asing lagi. Penyiar senior Radio Gapura Pasar Klewer ini telah puluhan tahun setia menyalurkan suara emasnya, menghibur dan menemani pedagang serta masyarakat dengan gaya siaran yang khas.
Perjalanan kariernya tidaklah instan, melainkan lahir dari hobi, ketekunan, dan kecintaannya pada dunia radio sejak kecil.
Masa Kecil dan Awal Ketertarikan
Lahir dan besar di Solo, masa kecil Lusi penuh dengan keceriaan. Ia gemar bernyanyi dan sering berbicara sendiri—sebuah kebiasaan yang ternyata menjadi awal dari cita-citanya menjadi penyiar.
Pendidikan dasarnya ditempuh di TK Fatimah Marsudirini, SD Santa Maria, SMP Kanisius I, hingga SMA Warga. Meski sempat gagal masuk Universitas Sebelas Maret (UNS), ia tetap menekuni bidang komunikasi melalui jalur Publisistik. dan PR
Dorongan menjadi penyiar berawal ketika kakaknya mengikuti lomba Pop Singer di PTPN. Lusi pun ikut tes suara, dan justru dirinya yang lolos karena memiliki suara paling lantang. Dari situlah kariernya di dunia siaran dimulai.
Inspirasi dan Panutan
Dalam perjalanan kariernya, Lusi banyak belajar dari para senior yang berkarier di TVRI . Dari Idrus, ia memetik ilmu sebagai pembaca berita; dari Maryati, ia menimba pengalaman menjadi MC; sementara dari Max Sopacua, ia belajar cara liputan dan membuat vlog. Ia juga mengagumi sosok penyiar televisi swasta seperti Rosi Silalahi dan Desi Anwar.
Namun, Lusi tidak sekadar meniru. Ia selalu berusaha menemukan ciri khasnya sendiri, sembari menyesuaikan kosa kata dengan berbagai kalangan pendengar—baik yang lebih tua maupun lebih muda.
“Siaran itu harus bisa diterima semua kalangan. Itu seni berbicara yang harus terus diasah,” ujarnya.
Karier Radio: Dari PTPN ke Gapura
Awal karier Lusi dimulai di Radio PTPN Solo, salah satu stasiun bergengsi dengan manajemen dan pola siaran yang rapi. Baginya, masuk PTPN adalah impian, sebab sejak remaja ia memang penggemar setia siaran mereka.
Setelah menikah dan melahirkan pada 1980-an, ia tetap aktif sebagai penyiar part-time, terutama untuk sandiwara radio yang disiarkan hingga ke Jakarta, Bali, dan Sumatra. Tahun 1990, ia sempat bergabung dengan Radio RPM, lalu berpindah ke sebuah radio yang beroperasi dari Singosaren Plaza. Th 1991
Baru pada 1992 ia resmi bergabung dengan Radio Gapura Pasar Klewer, yang hingga kini menjadi rumahnya.
Radio Gapura sendiri berbeda dengan radio komersial di Solo. Ia lahir dari komunitas pedagang Pasar Klewer, bersifat non-profit, dan siarannya tidak lewat frekuensi AM/FM, melainkan melalui lebih dari 250 speaker yang dipasang di seluruh area pasar. Konsep ini membuat radio terasa lebih intim bagi pedagang dan pengunjung.
Ujian Terberat: Kebakaran Pasar Klewer 2014
Salah satu momen paling berat dalam perjalanan Lusi adalah saat Pasar Klewer terbakar pada 27 Desember 2014. Kebakaran itu tidak hanya memukul para pedagang, tetapi juga meluluhlantakkan studio Radio Gapura. Seluruh kaset berisi koleksi lagu-lagu yang biasa diputar untuk menemani pedagang hangus terbakar.
“Sakit banget rasanya. Apa yang kita bangun sejak awal hilang begitu saja. Lagu-lagu yang selama ini jadi penghibur pedagang pun ikut lenyap,” kenangnya.
Namun, berkat bantuan berbagai pihak—mulai dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia, (JRKI), CRI Jogja, teknisi Radio PTPN, hingga Pemkot Surakarta—Radio Gapura bisa bangkit kembali. Mereka sempat mengudara lewat Radio Darurat di frekuensi 107,7 FM yang diberikan Kominfo, sambil membangun kembali studio.
Kini, Radio Gapura dikenal sebagai salah satu radio komunitas tertua dan bahkan menjadi inspirasi bagi pasar-pasar lain di luar Solo untuk membangun radio serupa.
Kedekatan dengan Pendengar
Hubungan Lusi dengan pendengar tidak sekadar formal, melainkan penuh keakraban. Pedagang Pasar Klewer merasa radio ini sebagai bagian dari kehidupan mereka. Ada yang membeli kartu pilihan lagu seharga seribu rupiah, bahkan ada yang berjodoh setelah disebut namanya di udara
“Saya pernah jadi mak comblang lewat siaran. Sekarang pasangan itu sudah punya anak,” tuturnya sambil tertawa.
Selain siaran, Radio Gapura juga aktif menggelar kegiatan off-air di setiap tanggal 17 Agustus. Mereka biasanya mengadakan piknik bersama ke berbagai kota, antara lain Bali, Jawa Barat juga Jakarta Semua ini membuat ikatan antara penyiar, pendengar, dan pedagang pasar semakin kuat.
Di Luar Studio
Selain menjadi penyiar, Lusi kerap tampil sebagai MC di berbagai acara. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di UNS, Universitas Veteran Sukoharjo, hingga Pemkab Semarang, membawakan materi public speaking. Pengalaman ini semakin memperkaya kiprahnya sebagai komunikator publik.
Di luar pekerjaannya, keluarga menjadi sumber dukungan terbesar. Sang suami dan anak-anak selalu mendukung aktivitasnya, baik ketika siaran, menyanyi, hingga menjadi MC.
Mengisi Era Digital
Memasuki era media sosial dan streaming, Lusi menyadari radio komunitas harus beradaptasi. Kini, Radio Gapura juga memanfaatkan platform seperti Facebook dan Instagram Live untuk menjangkau pendengar di luar Solo, bahkan luar negeri.
“Meski media digital berkembang, radio tetap punya ruang. Yang penting kita bisa membuat gebrakan baru agar pendengar setia. Seperti saat saya siaran, saya juga melakukan siaran live via facebook, dan siaran ini ditonton pula oleh orang yang tinggal di luar negeri,” ujarnya.
Sebagai penyiar senior sekaligus anggota JRKI, Lusi berharap radio komunitas mendapat perhatian lebih dari pemerintah, termasuk dukungan dana agar penyiar di daerah bisa sejahtera.
Baginya, radio komunitas bukan sekadar media hiburan, tetapi juga penjaga kearifan lokal sekaligus penyambung informasi publik.
“Untuk generasi muda, kalau mau menekuni dunia radio, jangan takut. Terus belajar, gali kreativitas, dan temukan ciri khas sendiri. Penyiar itu bukan hanya bicara, tapi juga menyampaikan jiwa,” pesan Lusi. XPOSEINDONESIA Foto : Dokuemntasi Lusi Caritas