Terakhir, sertifikasi end to end, yakni penerapan protokol kesehatan. Mulai dari ketibaan di negara tujuan, proses imigrasi, pengambilan bagasi, penyewaan mobil, check in dan check out hotel, mengakses layanan-layanan di destinasi wisata, penerbangan pulang, dan ketibaan kembali di negara asal.
Kemenparekraf juga melakukan observasi lapangan untuk memastikan protokol CHSE diterapkan dengan benar. Karena kami perlu memastikan sertifikasi CHSE yang diberikan tidak hanya berupa sertifikasi saja, tetapi pelaksanaan dari CHSE tersebut dilakukan secara ketat dan disiplin.
Selain itu, telah dibentuk PIC daerah untuk Batam-Bintan dan PIC Kemenparekraf sendiri. Sehingga diharapkan dapat memudahkan komunikasi antara pusat dan daerah, serta dapat mengidentifikasi kendala yang dihadapi untuk segera dicarikan solusi terbaiknya.
Yang tidak kalah penting adalah persiapan dari sisi kesehatan, karena ini juga masukan dari dinas kesehatan Provinsi Kepri bahwa ada indikator yang harus dipenuhi, tidak hanya zona tersebut termasuk zona hijau atau zona kuning, tapi bagaimana rata-rata penambahan kasus mingguan menurun.
Selain itu, bed occupancy di bawah 60 persen, sebagai jaminan jika ada wisatawan yang sakit maka akan ditangani dengan baik. Lalu, tempat tidur ICU occupancy rate juga dipantau, positivity rate juga harus di bawah 5 persen, serta penerapan prokes di ruang publik, kami bekerja sama dengan Satpol PP setempat, karena mereka merupakan garda terdepan untuk mengawal ketaatan publik dalam menerapkan protokol kesehatan.
Staf Ahli Menteri Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Kementerian Luar, Siti Nugraha Mauludiah, menekankan bahwa reaktivasi pariwisata ini hanya dapat dilakukan apabila Batam-Bintan telah memenuhi indikator siap dan aman. Hal ini dilakukan untuk mencegah peningkatan COVID-19.
“Kami berharap agar dalam waktu dekat seluruh kriteria reaktivasi ini dapat dicapai oleh Batam dan Bintan,” kata Siti Nugraha. XPOSEINDONESIA Foto : Biro Komunikasi Publik