Jalan Empang, Bogor, menyimpan kisah tentang keberagaman yang hidup berdampingan. Di kawasan yang mayoritas dihuni keturunan Arab, berdiri sebuah kedai kopi milik keluarga Tionghoa yang bertahan hampir satu abad: Kopi Bah Sipit Cap Kacamata.
Saat memasuki kedainya, aroma kopi langsung menyergap. Nuansa jadul terasa dari pintu kayu biru muda, etalase kaca berisi bungkus kopi, hingga lemari kayu tua yang masih kokoh—semua menghadirkan atmosfer vintage yang menghangatkan.
Nancy Wahyuni (46), generasi ketiga sekaligus pemilik Kopi Bah Sipit, menyambut dengan senyum lebar. Ia bercerita bagaimana sang kakek, Yoe Hong Keng, mulai meracik kopi pada 1925. Warga sekitar memanggilnya Bah Sipit, panggilan akrab yang kemudian menjadi nama produk kopi bubuknya.
Meski berbeda etnis, kehadiran Bah Sipit justru diterima hangat oleh masyarakat Arab di Jalan Empang yang memang memiliki tradisi kuat minum kopi. Dari sinilah hubungan yang harmonis terbentuk: bisnis kopi berkembang, sementara toleransi mengakar.
Dulu kedai ini hanya menjual bubuk kopi robusta. Kini Nancy menambahkan varian arabika karena permintaan pelanggan yang semakin beragam. Namun satu hal tetap dijaga: kopinya 100 persen murni, tanpa campuran apa pun. Biji diperoleh dari petani lokal agar cita rasanya tetap otentik.
Seiring waktu, Kopi Bah Sipit terus berinovasi. Mereka menghadirkan kopi siap minum, menambah meja dan kursi untuk pengunjung, hingga merambah penjualan lewat e-commerce. Dalam sehari, produksi kopi mereka bisa mencapai 50 kilogram.
Hampir seabad bertahan di tengah kota, Kopi Bah Sipit bukan hanya soal racikan kopi turun-temurun, tetapi juga simbol harmoni antar-etnis di Bogor. Sebuah bukti bahwa bisnis bisa tumbuh bersama jika toleransi dijaga. XPOSEINDONESIA Teks dan Foto Dudut Suhendra Putra




