
Sal Priadi tampil sebagai penyanyi penutup di panggung BRI Jazz Gunung Series 2 Bromo 2025. Dalam suhu pegunungan yang menggigil hingga 12 derajat Celsius, musisi asal Malang itu justru menghadirkan kehangatan lewat musikalitas, teatrikalitas, dan komunikasi emosional yang erat bersama para penonton yang ia sebut Jama’ah Al-Jazziyah.
Lagu Dari Planet Lain menjadi pembuka, disampaikan dengan narasi tentang keanehan yang membuat seseorang dicintai. Setelah itu, Sal membawakan sejumlah karya lain seperti Misteri Minggu Pagi, Kita Usahakan Rumah Itu, dan Mesra-mesraannya Kecil-kecilan Dulu. Saat menyanyikan lagu superhits Gala Bunga Matahari, hampir seluruh penonton ikut bersenandung pada bait: “Mungkinkah, mungkinkah, mungkinkah kau mampir hari ini?” Menunjukkan kedekatan emosional antara musisi dan audiens.
Malam itu, Sal mengenakan jas navy dengan kancing terbuka di bagian atas. Ia membuka penampilan dengan sebuah percakapan ringan bersama dua backing vocal perempuan, yang kemudian mengalir menjadi harmoni lagu pertama. Tidak hanya bernyanyi, ia juga memainkan adegan-adegan kecil yang mencerminkan makna lirik, menjadikan panggung sebagai ruang cerita yang hidup.
Dalam sesi wawancara yang dilakukan usai gladi resik, Sal mengungkapkan bahwa beberapa lagu yang ia bawakan malam itu merupakan bagian dari tur musik perdananya dengan aransemen baru bernuansa jazz. Ia menyebut keterlibatan produser Gusti Roni Bowo sebagai bagian dari proses kreatif ini. Meski tidak menganggap dirinya musisi jazz, Sal merasa bangga bisa menjadi jembatan antara pendengar musik pop dan atmosfer festival jazz seperti Jazz Gunung.
Ia juga menyampaikan kabar tentang perilisan lagu terbaru berjudul Malang Suantai Sayang, yang akan keluar pertengahan Agustus. Lagu ini lahir dari keinginannya untuk menciptakan lagu yang mewakili suasana dan karakter khas Malang. Terinspirasi dari pengamatannya terhadap tren penggunaan lagu di media sosial di kota lain, Sal menyadari bahwa Malang masih kekurangan karya musikal yang mampu menjadi cermin identitas. Ia pun menciptakan lagu dengan sentuhan bahasa Jawa Timuran dan gaya pelafalan “suantai” yang akrab di telinga masyarakat lokal. Lagu ini disebutnya sebagai “adik dari Irama Laut Teduh”.
Terkait rencana rilisan besar seperti album atau EP, Sal belum memberikan kepastian. Fokus utamanya masih pada produksi dan perilisan single. Namun, ia menegaskan bahwa pendekatan storytelling akan tetap menjadi ciri khas dalam karya-karya berikutnya. Ia juga menyatakan keterbukaannya untuk menulis lagu bagi musisi lain dan terlibat sebagai co-producer, meski belum merasa cukup mumpuni untuk menggarap produksi penuh secara teknis.

Panggung ditutup dengan kejutan britpop dalam lagu Dalam Diam. Di bagian akhir, Sal mengajak seluruh penonton berdiri, menari, dan merayakan malam bersama. Ia turun dari panggung, berjalan mendekati bangku penonton, bahkan naik ke kursi panjang, menyapa Jama’ah Al-Jazziyah yang dengan antusias bersalaman dan mengabadikan momen. Sisi belakang penonton ikut jejingkrakan, menciptakan penutup yang meriah dan penuh sukacita.
Sebelum meninggalkan panggung, Sal menyampaikan harapan agar kota-kota seperti Malang memiliki lebih banyak festival musik lintas genre—dari jazz, elektronik, hingga eksperimental.
Menurutnya, semakin banyak ruang tumbuh bagi musik, semakin subur pula iklim kreatif di Indonesia. Penampilannya malam itu bukan hanya tentang suguhan musikal, tapi juga tentang membangun koneksi, menghadirkan cerita, dan memperkuat ikatan emosional melalui seni pertunjukan. XPOSEINDONESIA/IHSAN