Empat belas hari, tujuh panggung, dan serangkaian kota yang menyimpan jejak suara Indonesia. Begitulah perjalanan Ride A Pony, duo lintas negara yang digawangi Neea Rachma dari Indonesia dan Chihiro Itakura dari Jepang. Dalam tur musiknya di Negeri Sakura, mereka menapaki perjalanan yang bukan sekadar penampilan, melainkan kisah pertemuan lintas budaya yang hangat, intens, dan membanggakan.
Perjalanan dimulai dari hiruk-pikuk Shibuya, menembus jalan-jalan malam Koenji, hingga menepi di tepi laut Yokosuka. Dari panggung-panggung kecil yang intim hingga aula besar di Yokohama Jazz Promenade, setiap tempat memberi cerita tersendiri. “Setiap kota punya energi berbeda. Tapi Jepang membuat kami benar-benar merasa bahwa musik bisa berbicara tanpa perlu banyak kata,” ujar Neea.
Di Yokohama Jazz Promenade—festival jazz tertua dan paling bergengsi di Jepang—Ride A Pony tampil di Grand Hall bersejarah, tepat pada peringatan 100 tahun festival itu. Bersama Tokyo Galaxy Jazz Orchestra, Neea menyanyikan repertoar yang menggabungkan warna lokal Indonesia dengan gaya jazz modern. “Itu momen yang tak akan saya lupakan,” katanya. “Ketika saya selesai bernyanyi, penonton berdiri, bertepuk tangan lama sekali. Saya hampir menangis.”
Tepuk tangan itu bukan sekadar bentuk apresiasi, tetapi juga simbol penerimaan. Beberapa musisi asing datang menghampiri setelah pertunjukan. Salah satunya berkomentar dengan kagum, “Saya baru tahu, wanita berhijab bisa sekeren ini!” Kalimat sederhana itu membekas dalam hati Neea. “Saya tidak tersinggung sama sekali. Justru saya merasa bangga, karena di situ saya sadar, saya membawa identitas dan warna Indonesia di panggung dunia.”
Selama dua minggu, Ride A Pony menampilkan tujuh kolaborasi lintas musisi Jepang: dari Neea Rachma + Tokyo Galaxy (Yokohama), Neea Rachma, Misa Sugiyama + Kawai Trio (Matsusaka), Ride A Pony (Shibuya, Tokyo), hingga Neea Rachma + Jennifer May & Friends (Yokosuka), Yukako Yamano (Setagaya), dan Asagaya Tokyo. Masing-masing kolaborasi punya dinamika tersendiri—dari jazz klasik hingga eksplorasi kontemporer yang berani.
Tak hanya tampil, mereka juga belajar banyak tentang cara kerja musisi Jepang yang disiplin dan detail. “Di sana, semua orang datang tepat waktu, latihan serius, tapi suasananya tetap hangat. Mereka menghormati proses, bukan hanya hasil,” tutur Neea. Chihiro Itakura menambahkan, “Kami ingin membawa semangat itu ke Indonesia—bahwa profesionalisme dan rasa hormat adalah bagian dari musik itu sendiri.”
Lebih dari sekadar tur, perjalanan ini juga menjadi bentuk diplomasi budaya. Ride A Pony membawa misi untuk menunjukkan bahwa musik bisa menjadi jembatan, bukan sekadar hiburan. “Kami ingin menunjukkan bahwa jazz Indonesia juga punya karakter. Bahwa perempuan berhijab bisa berdiri sejajar di panggung dunia, dan bahwa musik bisa menjadi bahasa perdamaian,” ujar Neea.
Kini, setelah kembali ke tanah air, kenangan 14 hari itu tetap hidup di benak mereka—suara tawa di ruang latihan, dinginnya udara malam Koenji, hingga detik ketika lampu sorot Yokohama menyinari panggung terakhir. Bagi Ride A Pony, Jepang bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang di mana musik menemukan maknanya kembali: jujur, tulus, dan menghubungkan hati manusia tanpa batas. XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dokumentasi Pribadi





