Dengan kondisi ini, Prof Ibnu melihat keadilan jurnalisme semakin tidak berlaku di media di Indonesia, bahkan soal keadilan ini tidak diatur dalam kode etik manapun di lndonesia.
āBayangkan, pada satu media tertentu bisa memuat headline dari tokoh yang itu-itu saja selama berhari-hari, dan pilihan narasumber juga nama yang sama. Yang muncul lue lagiā¦ lue Lagi. Sebaiknya, kalau bicara soal keadilan dan kemerdekaan, maka untuk Pilpres mendatang misalnya, sebaiknya dibuat jurnal pemilu. Di mana setiap kontestan bisa dimuat secara merata untuk pemuatan cetak dan online, maupun dalam durasi pemberitaan video,ā ujarnya
Jurnalisme Warga Dikutip Mainstream
Sementara itu Nugroho Fery Yudho (Jurnalis Senior Kompas) mengakui banyak yang berubah dari industry media belakangan ini. Zaman tahun 1980-an, pemimpin dan pemilik media rata-rata berprofesi sebagai jurnalis. Sebut saja BM Diah, Yacob Utama dan Harmoko, misalnya.
āSekarang ini, setiap orang bisa jadi pemimpin redaksi. Dan bikin kartu nama sebagai wartawan. Sehingga, kesadaran dan kemandirian pers tidak sebesar dulu,ā kata Nugroho.
Perkembangan sosial media yang dengan sangat cepat, menurut Nugroho juga melahirkan setiap orang menjadi wartawan. Dan kemudian muncul pula istilah jurnalisme warga. āDi mana setiap orang bisa merekam sebuah peristiwa dan menyebarkannya,ā kata Nugroho.
Namun, sayangnya dengan keterbatasan pengetahuan, mereka membuat berita tanpa dasar yang jelas seperti layaknya wartawan menulis berita, dengan patokan rumusan wartawan menulis berita yang harus memuat 5 W .
āDi sinilah muncullah istilah berita hoax, dan kebanyakan dibuat oleh pelajar dan mahasiswa. Awalnya, mereka tidak menyadari apa yang dibuat itu sebagai berita hoax. Mereka membuat berita tidak lengkap asal usulnya!ā
Nugroho menyebut bersama AJV, ia kemudian masuk ke berbagai sekolah dan kampus, untuk memperkenalkan pola penulisan berita yang benar.