
Pandemi COVID 19 yang telah berlangsung sejak Maret 2021, secara telak telah memukul industry kesenian dan hiburan dunia.
Industri kesenian di mana pun selalu mengumpulkan massa, mengumpulkan jumlah penonton. Semakin banyak akan semakin baik.
Tapi kondisi Pandemi COVID19, justru melarang terjadinya perkumpulan orang, dalam jumlah sedikit apalagi banyak. Ini jelas menyulitkan kehidupan musisi dan dunia kesenian secara keseluruhan.
Hal inilah yang diungkapkan Taufik Hidayat Udjo kepada Bens Leo dalam acara Cakap Cakap via Instagram live, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif pada Kamis, 27 Mei 2021.
“Alhamdulillah, sampai bulan Mei ini kami masih sepi penonton,” kata Kang Taufik ‘Opik’ Hidayat, pemimpin sekaligus penerus bisnis SAU dari orang tuannya alm. Udjo Ngalagena.
“Kami tetap menyebut Alhamdulillah, karena sampai hari ini kami tetap bisa bertahan,” ujar Kang Taufik lagi
Sebelum Pandemi datang, setiap hari di SAU biasanya digelar pertunjukan tiga bahkan sampai lima kali. “Jumlah penonton yang datang bisa mencapai 2000 orang. Lahan parkir yang kami miliki, bisa menampung 30-40 bus besar. Penonton yang datang 70 persen pelajar, 20 persennya wisatawan asing,” ujar Taufik lagi.
Tetapi kini, SAU dengan formasi 60 pemain angklung, musisi dan penyanyi, pernah hanya membuka kegiatan untuk menghibur hanya untuk dua orang penonton. “Bayangkan merosot berapa persen,” ungkap Taufik dengan tersenyum miris.
SAU sendiri berdiri tahun 1966 oleh almarhum Udjo Ngalagena, ayahanda dari Taufik. Tempat ini kemudian dikenal sebagai sebuah tujuan wisata dan budaya edukasi yang lengkap. Di SAU terdapat arena pertunjukan, pusat kesenian kerajinan bambu dan workshop. Bukan hanya itu, SAU dengan jelas memperlihatkan kepedulian untuk terus melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Sunda, khususnya Angklung kepada masyarakat dunia.
Kondisi pandemik ini bukan semata membuat merosotnya jumlah penonton di SAU. “Ini sangat berpengaruh pada pengrain angklung yang tidak bisa lagi menerima pesanan, berpengaruh kepada pelatih, dan pemain. Bahkan saya kira ini beyond angklung ini benar benar bisa hilang!” lanjut Taufik.
Taufik lebih lanjut menyebut, hamir setiap hari menerima telepon dari para pemilik kebun bambu yang biasa menyuplai bahan baku untuk angklung.
“Mereka juga bilang, kalau tidak ada pesanan angklung, kebun bambu yang mereka miliki bisa berubah fungsi menjadi rumah atau hal yang lain. Karena mereka tidak bisa hidup dalam kondisi begini terus menerus!” lanjut Taufik
Secara kebetulan, menurut Taufik teman teman diaspora , ada yang bersimpati dengan kondisi SAU. Beberapa waktu, tekan diaspora di Swedia ada memesan angklung di SAU.
“Jika semua teman teman diaspora dari seluruh dunia melakukan hal yang sama, setidaknya ini akan sangat membantu kita. Bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi keberlangsungan hidup dari kberadaan angklung itu sendiri!”
Namun, apapun yang terjadi, SAU tetap berusaha untuk berjalan dan bertahan. Kamila ‘Amel’ Putri – MC dan instruktur di SAU menyebut, hari hari belakangan ini SAU mulai dibuka dengan memberlakukan hal baru dan menerapkan protokol ketat.
“Sebelm masuk ke arena SAU, penonton yang datang wajib mencuci tangan. Sementara musisi dan penari yang menghibur menggunakan masker dan faceshield,” kata Amel yang merupakan Puteri Taufik.
Hal baru lain, adalah penonton tidak bisa lagi menari dengan mendekat pada artis. Tempat duduk penonton di arena ini dibuat berjarak, “Dan semua angklung yangakan dimainkan penonton sudah lebih dulu kami beri desinfektan!”
Taufik melihat, banyak faktor yang menyebabkan belum normalnya jumlah penonton yang datang ke SAU.
Salah satunya, “Karena masih ada pembatasan orang masuk ke Bandung. Dan masuk ke satu daerah, harus melalui berbagai pemeriksanan,” ujar pria penerima beragam penghargaan, salah satunya dari “Marketeer of the Year” dari Markplus Inc 2016