Rako mengingatkan, film berbeda dengan opera atau oabaret yang membutuhan latar belakang musik dari depan sampai belakang. “Dalam film, terkadang ada bagian tertentu yang memang harus di mute. Kalau tidak, nanti grafik emosi penonton malah bisa terlalu lelah,” katanya.
Wajib Belajar Sejarah Musik
Sementara itu, musisi Tya Subiakto mengatakan seseorang yang ditunjuk sebagai penata musik, mempunyai kesepakatan pada dua orang, yakni produser dan sutradara. “Karena mereka yang tahu karakter cerita, bagaimana alur dan konklusi filmnya,” kata Tya yang pernah menata musik untuk lebih dari 60 judul film, di antaranya Ayat-Ayat Cinta, Habibi & Ainun, Sang Pencerah dan lain-lain.
Jika seseorang tertarik menjadi penata musik, kata Tya, sebaiknya dibekali dengan ilmu yang lain seperti fotografi. Agar paham sudut pandang dan bahasa yang kerap dipakai oleh sutradara.
“Di samping itu perlu juga membekali diri dengan pengetahuan tentang scenario film, meski tidak perlu mendalam. Karena di setiap skenario terdiri dari tiga babak atau delapan sequences. Dari sana kita bisa mengatur musiknya. Misalkan, di bagian opening tidak terlalu tinggi, atau tidak mewah,” ungkap Tya yang mengawali karier lewat film Sang Dewi (2007).
Dan satu hal lagi, kata Tya, seorang Ilustrator Musik harus paham tentang sejarah musik. Misalnya, dalam menggarap tema cerita tahun 1920, harus paham di jaman itu musik apa yang sedang berkembang. “Misalnya musik jazz, harus dipertajam lagi, era itu apa yang sedang hits. Apakah Dixie atau apa? Jangan sampai salah. Bisa-bisa diketawain penonton yang tahu sejarah!” ungkap Tya yang memenangkan Ilustrator Terbaik dalam Festival Film Bandung lewat Ayat-Ayat Cita (2008) dan Sang Pencerah (2011)
Tya mengaku masih sering menghadapi alasan klasik tentang budget produksi film yang terbatas, tapi produser menginginkan musik filmnya digarap megah menggunakan orchestra. Dan mengusulkan untuk menggunakan digital music orchestra.