Jumat, Februari 21, 2025

Webinar ICLD : Ada Penyimpangan Konsep LMK?

Kecil Besar

Ada satu ide  yang muncul pada saat itu adalah,  melalui pembentukan federasi berbadan hukum yang  ide dasarnya adalah  agar  pihak  yang memungut royali dari para user,  hanya ada  satu pihak.  Sehingga keluhan para user dapat diatasi dengan baik

Namun, agar pihak yang satu ini punya hak untuk menangih,maka harus memiliki hak untuk menagih. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan memberikan kuasa dari LMK  kepada federasi LMK tersebut.

“Ketika hampir disepakati bentuk hukumnya, terbitlah  UUHC No 28  tahun  2014, atau UUHC 14 dalam UUHC itu ide federasi ini diwujudkan dalam bentuk LMK Nasional,” ungkap Prof. Dr. Agus

“Jadi ada LMK,  ada LMKN  yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil  di UUHC  ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK.  Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UUHC,  LMKN  adalah LMK juga, bukan sesuatu  yang lain,” Prof. Dr  Agus menambahkan.

Apalagi di dalam UUHC juga tidak ada defenisi LMKN. Itu berarti menurut UUHC 2014, LMKN adalah LMK juga sebagai perwakilan pemilik hak cipta. Oleh sebab itu sebagai LMKn mereka mendapatkan kuasa daripada pemilik hak lewat LMK LMK yang menjadi federasinya, dan  dengan demikian secara perdata LMKn  ini  mempunyai hak untuk mewakili  pemilik hak  cipta untuk memungut royalti kepada  para user.

Muncul Penyimpangan Konsep

“Sayangnya,  dalam perjalan implementasinya, terjadi  penyimpangan konsep LMK yang disebutkan dalam UUHC. Penyimpangan terjadi ketika dalam pelaksanaannya,  LMKn berubah menjadi  LMKN (huruf besar) dan ditempelkan langsung. Ini dasarnya adalah keputusan Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu!” ungkap Prof Dr Agus.

Kata nasional yang berhuruf besar dan dilekatkan pada LMKN menjadi sebuah penamaan Lembaga seperti halnya BPHN, BPN, PKN dan seterusnya.

“Nah, apalagi ketika anggota LMKN tadi tidak diisi dengan utusan-utusan LMK, melainkan dipilih pansel yang dibentuk oleh Menteri dengan nomenklatur komisioner.  Untuk  hal ini tidak sejalan dengan ide dalam UUHC, bahwa LMK Nasional adalah LMK,” ungkap Prof Dr. Agus.  Karena secara internasional pun ada federasi semacam ini.  Federasi LMK dari berbagai negara.

Penyimpangan konsep semakin dikukuhkan, dengan terbitnya PP 56 tahun 2021. Yang menegaskan bahwa LMKN adalah bukan LMK yang  secara hukum perdata mewakili para pemilik hak.

“Kita tahu anggota LMKN, (di sini ada Pak Marulan (dipilih oleh Pansel, dan mereka tidak  mendapat kuasa dari para pemilik hak), melainkan mendapat kewenangan dari otoritas publik, yakni Menteri!’ lanjut Prof  Dr. Agus.

LMK ini bukan Lembaga publik, tetapi lembaga pemerintah. Tidak ada Lembaga pemerintah yang non APBN, dan harus menggunakan APBN.

Menyusun dengan Mendegar  

Dalam menutup seminar, Prof Dr Agus  menyebut, sebaiknya dalam menyusun peraturan perundang undangan, selalu mau mendengar dari stakeholder yang berkepentingan.

“Kalau kita bicara dalam perspektif perundang undangan, ada prinsip penyusunan perundang undangan yang menggunakan metode ROCCOPI. Sebuah metode  yang disusun dan dipopulerkan oleh Ann, Robert t Siedman dan Nalin Abeysekere dari Amerika Serikat

ROCCIPI sendiri menurut Prof  Dr Agus adalah:

R-ule = aturannya harus sesuai dengan doktrin hukum peraturan. Aturan yang di bawah jangan menabrak yang di atasnya. Harus jelas, jangan multitafsir,  dan harus bisa dilaksanakan.

O-purtunity = kesempatan untuk melaksanakan aturan,  supaya mereka bisa  dilaksanakan sebaik baiknya, tidak kemudian timbul  masalah, karena ketidakjelasan aturan.

C-apacity  =  subjek yang menjadi aturan, semestinya berdasarkan kapasitas.

C-omunication= perlu ada komunikasi dengan stake holder saat penyusunan undang-undang, supaya nanti  kalau sudah menjadi peraturan tdak menjadi kontroversi

I-nterest = penyusunan undang undang bukan berdasarkan interest pribadi, tapi interest warga masyrakat.

Must Read

Related Articles