
Ada satu ide yang muncul pada saat itu adalah, melalui pembentukan federasi berbadan hukum yang ide dasarnya adalah agar pihak yang memungut royali dari para user, hanya ada satu pihak. Sehingga keluhan para user dapat diatasi dengan baik
Namun, agar pihak yang satu ini punya hak untuk menangih,maka harus memiliki hak untuk menagih. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan memberikan kuasa dari LMK kepada federasi LMK tersebut.
“Ketika hampir disepakati bentuk hukumnya, terbitlah UUHC No 28 tahun 2014, atau UUHC 14 dalam UUHC itu ide federasi ini diwujudkan dalam bentuk LMK Nasional,” ungkap Prof. Dr. Agus
“Jadi ada LMK, ada LMKN yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil di UUHC ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK. Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UUHC, LMKN adalah LMK juga, bukan sesuatu yang lain,” Prof. Dr Agus menambahkan.
Apalagi di dalam UUHC juga tidak ada defenisi LMKN. Itu berarti menurut UUHC 2014, LMKN adalah LMK juga sebagai perwakilan pemilik hak cipta. Oleh sebab itu sebagai LMKn mereka mendapatkan kuasa daripada pemilik hak lewat LMK LMK yang menjadi federasinya, dan dengan demikian secara perdata LMKn ini mempunyai hak untuk mewakili pemilik hak cipta untuk memungut royalti kepada para user.
Muncul Penyimpangan Konsep
“Sayangnya, dalam perjalan implementasinya, terjadi penyimpangan konsep LMK yang disebutkan dalam UUHC. Penyimpangan terjadi ketika dalam pelaksanaannya, LMKn berubah menjadi LMKN (huruf besar) dan ditempelkan langsung. Ini dasarnya adalah keputusan Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu!” ungkap Prof Dr Agus.
Kata nasional yang berhuruf besar dan dilekatkan pada LMKN menjadi sebuah penamaan Lembaga seperti halnya BPHN, BPN, PKN dan seterusnya.
“Nah, apalagi ketika anggota LMKN tadi tidak diisi dengan utusan-utusan LMK, melainkan dipilih pansel yang dibentuk oleh Menteri dengan nomenklatur komisioner. Untuk hal ini tidak sejalan dengan ide dalam UUHC, bahwa LMK Nasional adalah LMK,” ungkap Prof Dr. Agus. Karena secara internasional pun ada federasi semacam ini. Federasi LMK dari berbagai negara.
Penyimpangan konsep semakin dikukuhkan, dengan terbitnya PP 56 tahun 2021. Yang menegaskan bahwa LMKN adalah bukan LMK yang secara hukum perdata mewakili para pemilik hak.
“Kita tahu anggota LMKN, (di sini ada Pak Marulan (dipilih oleh Pansel, dan mereka tidak mendapat kuasa dari para pemilik hak), melainkan mendapat kewenangan dari otoritas publik, yakni Menteri!’ lanjut Prof Dr. Agus.
LMK ini bukan Lembaga publik, tetapi lembaga pemerintah. Tidak ada Lembaga pemerintah yang non APBN, dan harus menggunakan APBN.
Menyusun dengan Mendegar
Dalam menutup seminar, Prof Dr Agus menyebut, sebaiknya dalam menyusun peraturan perundang undangan, selalu mau mendengar dari stakeholder yang berkepentingan.
“Kalau kita bicara dalam perspektif perundang undangan, ada prinsip penyusunan perundang undangan yang menggunakan metode ROCCOPI. Sebuah metode yang disusun dan dipopulerkan oleh Ann, Robert t Siedman dan Nalin Abeysekere dari Amerika Serikat
ROCCIPI sendiri menurut Prof Dr Agus adalah:
R-ule = aturannya harus sesuai dengan doktrin hukum peraturan. Aturan yang di bawah jangan menabrak yang di atasnya. Harus jelas, jangan multitafsir, dan harus bisa dilaksanakan.
O-purtunity = kesempatan untuk melaksanakan aturan, supaya mereka bisa dilaksanakan sebaik baiknya, tidak kemudian timbul masalah, karena ketidakjelasan aturan.
C-apacity = subjek yang menjadi aturan, semestinya berdasarkan kapasitas.
C-omunication= perlu ada komunikasi dengan stake holder saat penyusunan undang-undang, supaya nanti kalau sudah menjadi peraturan tdak menjadi kontroversi
I-nterest = penyusunan undang undang bukan berdasarkan interest pribadi, tapi interest warga masyrakat.