Webinar ICLD : Ada Penyimpangan Konsep LMK?

- Advertisement -
- Advertisement -

Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD), sebuah pusat riset hukum dan perundang undangan, yang biasanya berkegiatan  dengan terfokus pada persoalan perundang-undangan terkini, menginisiasi  diskusi daring, Sabtu, 7 Agustus 2021.

Diskusi yang mengangkat tema “Menyoal LMKN, Kewenangan dan Pertangggungjawaban Keuangan  ini”,  mengundang  sejumlah pakar hukum  sebagai narasumber, antara lain  Sony M. Sikumbang S.H, M.H (Dosen Fakultas Hukum UI), Dr. Dian Puji N, Simatupang  S.H, M,H (Dosen Fakultas Hukum UI), Andi Sandi AT. Tonralipu S.H, LL.M (Dosen Fakultas Hukum UGM, dengan keynote Speaker Prof Dr. Agus Sardjono S.H, M.H (Guru Besar Fakultas Hukum UI)

Aulia Mutia Syifa sebagai moderator menyebut, tema “Menyoal LMKN, Kewenangan, dan Pertangggungjawaban Keuangan“ ini diangkat karena LMKN seharusnya dapat hadir secara optimal dalam hal melindungi hak cipta. Terutama, ketika hasil ciptaannya digunakan untuk komersil dengan mengelola, juga sebagai perantara antara pengguna ciptaan dengan pemilik hak ciptaan dalam hal distribusi royalti.

- Advertisement -

“Sejatinya pada UU No 28 2014 tentang Hak Cipta,  hanya mengatur kelembagaan dari Lembaga Manajemen Kolektif. Namun menariknya di UU Hak Cipta seolah oleh diatur suatu lembaga baru yakni Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan catatan, huruf n yang digunakan pada kata Nasional menggunakan huruf n kecil, sehingga ditafsirkan istilah ini seharusnya tidak merujuk pada kelembagaan!”

Namun, pada permenkumham  Nomor 36 tahun 2018, LMKN didefinisikan sebagai lembaga pemerintah non APBN yang mendapat kewenangan  atribusi dari Undang-undang Hak Cipta (UUHC), padahal UUHC tidak mengatur kelembagaan LMKN .

“Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakjelasan hukum pada kedudukan dan kewenangan LMKN yang terus berlanjut. Kerancuan kedudukan ini bisa mempengaruhui pertanggungjawaban keuangan LMKN, apakah selalu melalui mekanisme APBN, atau non APBN!”

- Advertisement -
Menyalin

Sementara itu, Fitriani Ahlan Syarif , Pakar Hukum Tata Negara UI  dalam kata pembuka menyentil,  istilah lembaga bantu pemerintah non APBN  yang menurutnya merupakan salah satu  istilah baru dalam perundangan undangan.

“Ini cukup unik, ketika ada kalimat lembaga  bantu pemerintah Non APBN.  Jadi lewat diskusi ini, harapan kami dapat dapat memberikan masukan yang lebih efektif bagi lembaga pelaksana agar dapat berkedudukan dengan lebih tepat. Dan yang lebih penting bagi ILCD, ke depan pembuat kebijakan akan lebih berhati-hati,” ungkap Fitriani Ahlan Syarif.

LMK Dalam Perjalanan Sejarah.

Sebagai keynote  speaker, Prof Dr. Agus Sardjono S.H, M.H (Guru Besar Fakultas Hukum UI) membicarakan LMKN dari perspektif Hukum Adminitrasi Negara (HAN) dan juga dari perspektif Hukum Tata Negara (HTN).

LMKN  dalam sejarahnya, menurut Prof  Dr Agus, dibentuk untuk memperbaiki  sistem pemungutan  dan distribusi royalti. LMK  muncul diawali dari keluhan pengguna lagu yang keberatan karena  didatangi beberapa orang yang menagih pembayaran rotalti atas nama LMK   (Collecting Management Organization)

“Saat itu, sekitar tahun 2012-2013 memang sudah ada beberapa LMK, seperti KCI, WAMI, REI, dan lain-lain. Di mana LMK  tersebut mewakili pemegang hak,  yang salah satu tugasnya memungut royalti dari para user,” ujar Prof. Dr. Agus.  “User ini adalah istilah yang digunakan  untuk orang orang yang  menggunakan karya musik dalam kegiatan komersial mereka!”

Tentu saja kehadiran beberapa LMK ini mengganggu para user, karena sebetulnya mereka memang wajib membatar royalti. Namun, mereka terganggu karena bukan hanya satu orang yang datang menagih, melainkan beberapa  nama lembaga.

Untuk menyikapi keluhan para user, dan dengan niat baik untuk memperbaiki mekanisme pemungutan royalti, saat itu atas inisiatif PAPPRI dilakukan pertemuan LMK guna membahas masalah tersebut.

Pertemuan pertama dilakukan di kantor PAPPRI di Kawasan Kuningan. Diikuti  beberapa orang yang mewakili,  berbagai LMK  yang ada.  “Singkat cerita, dari banyak pertemuan LMK,  kemudian disepakati  untuk lahirnya single  gate system (atau system satu pintu),  dalam proses pemungutan royalti,” ungkap Prof. Dr. Agus

Ada satu ide  yang muncul pada saat itu adalah,  melalui pembentukan federasi berbadan hukum yang  ide dasarnya adalah  agar  pihak  yang memungut royali dari para user,  hanya ada  satu pihak.  Sehingga keluhan para user dapat diatasi dengan baik

Namun, agar pihak yang satu ini punya hak untuk menangih,maka harus memiliki hak untuk menagih. Mekanisme yang dilakukan adalah dengan memberikan kuasa dari LMK  kepada federasi LMK tersebut.

Baca Juga :  Warga Isoman di Jakarta, Dapat Bantuan Paket Makanan dari Lola Amaria

“Ketika hampir disepakati bentuk hukumnya, terbitlah  UUHC No 28  tahun  2014, atau UUHC 14 dalam UUHC itu ide federasi ini diwujudkan dalam bentuk LMK Nasional,” ungkap Prof. Dr. Agus

“Jadi ada LMK,  ada LMKN  yang terpisah. Nah, kata nasional ditulis dalam huruf kecil  di UUHC  ini sengaja ditulis terpisah dengan LMK.  Hal itu hanya bisa dipahami bahwa menurut UUHC,  LMKN  adalah LMK juga, bukan sesuatu  yang lain,” Prof. Dr  Agus menambahkan.

Apalagi di dalam UUHC juga tidak ada defenisi LMKN. Itu berarti menurut UUHC 2014, LMKN adalah LMK juga sebagai perwakilan pemilik hak cipta. Oleh sebab itu sebagai LMKn mereka mendapatkan kuasa daripada pemilik hak lewat LMK LMK yang menjadi federasinya, dan  dengan demikian secara perdata LMKn  ini  mempunyai hak untuk mewakili  pemilik hak  cipta untuk memungut royalti kepada  para user.

Muncul Penyimpangan Konsep

“Sayangnya,  dalam perjalan implementasinya, terjadi  penyimpangan konsep LMK yang disebutkan dalam UUHC. Penyimpangan terjadi ketika dalam pelaksanaannya,  LMKn berubah menjadi  LMKN (huruf besar) dan ditempelkan langsung. Ini dasarnya adalah keputusan Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu!” ungkap Prof Dr Agus.

Kata nasional yang berhuruf besar dan dilekatkan pada LMKN menjadi sebuah penamaan Lembaga seperti halnya BPHN, BPN, PKN dan seterusnya.

“Nah, apalagi ketika anggota LMKN tadi tidak diisi dengan utusan-utusan LMK, melainkan dipilih pansel yang dibentuk oleh Menteri dengan nomenklatur komisioner.  Untuk  hal ini tidak sejalan dengan ide dalam UUHC, bahwa LMK Nasional adalah LMK,” ungkap Prof Dr. Agus.  Karena secara internasional pun ada federasi semacam ini.  Federasi LMK dari berbagai negara.

Penyimpangan konsep semakin dikukuhkan, dengan terbitnya PP 56 tahun 2021. Yang menegaskan bahwa LMKN adalah bukan LMK yang  secara hukum perdata mewakili para pemilik hak.

“Kita tahu anggota LMKN, (di sini ada Pak Marulan (dipilih oleh Pansel, dan mereka tidak  mendapat kuasa dari para pemilik hak), melainkan mendapat kewenangan dari otoritas publik, yakni Menteri!’ lanjut Prof  Dr. Agus.

LMK ini bukan Lembaga publik, tetapi lembaga pemerintah. Tidak ada Lembaga pemerintah yang non APBN, dan harus menggunakan APBN.

Menyusun dengan Mendegar  

Dalam menutup seminar, Prof Dr Agus  menyebut, sebaiknya dalam menyusun peraturan perundang undangan, selalu mau mendengar dari stakeholder yang berkepentingan.

“Kalau kita bicara dalam perspektif perundang undangan, ada prinsip penyusunan perundang undangan yang menggunakan metode ROCCOPI. Sebuah metode  yang disusun dan dipopulerkan oleh Ann, Robert t Siedman dan Nalin Abeysekere dari Amerika Serikat

ROCCIPI sendiri menurut Prof  Dr Agus adalah:

R-ule = aturannya harus sesuai dengan doktrin hukum peraturan. Aturan yang di bawah jangan menabrak yang di atasnya. Harus jelas, jangan multitafsir,  dan harus bisa dilaksanakan.

O-purtunity = kesempatan untuk melaksanakan aturan,  supaya mereka bisa  dilaksanakan sebaik baiknya, tidak kemudian timbul  masalah, karena ketidakjelasan aturan.

C-apacity  =  subjek yang menjadi aturan, semestinya berdasarkan kapasitas.

C-omunication= perlu ada komunikasi dengan stake holder saat penyusunan undang-undang, supaya nanti  kalau sudah menjadi peraturan tdak menjadi kontroversi

I-nterest = penyusunan undang undang bukan berdasarkan interest pribadi, tapi interest warga masyrakat.

P-rocess = penyusunannya harus akuntabel

I-deology= sebaiknya tidak keluar dari ideolegi  negara Pancasila, baik tentang kebersamaan seperti yang tertuang dalam Sila Persatuan, selalu ada musyawarah, yang menjadi bagian dan bisa mencerminkan keadilan sosial.

“Kalau sudah disusun peraturan dengan model begini, masih muncul gejolak, ada indikasi memang ada masalah pada saat penyusunan UU,’ ungkap Prof Dr. Agus.

Diharapkan, seminar kali ini sudah memberikan pencerahan, penjelasan dari berbagai hal yng menjadi focus  perhatian dari  stakeholder.

“Sekaligus bisa menjadi bahan renungan, tanpa hard feeling, tanpa kecewa, dan marah, tapi sama sama membahas secara terbuka. Intinya, di masa yang akan datang, lebih baik membicarakan bagaimana memperbaiki hal-hal yang dianggap masih menimbulkan kerancuan, masih menimbulkan perbedaan tafsir,” tambah Prof Agus.

“Tujuannya hanya satu, untuk kebaikan dan kesejahteraan pemilik hak cipta, karena mereka telah memberikan kontribusi yang besar kepada kebudayaan Indonesia, kepada msyarakat kita.  Jadi tolong perhatian kita dalam penyusunan UU,  bukan  untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan rakyat!”  XPOSEINDONESIA/NS : Foto : Dokumentasi

- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -