“Dan yang jelas Om Idris itu keras dalam memegang prinsip bahwa musisi itu harus dihormati. Budjana pernah cerita, di sebuah acara Om Idris pernah ngamuk karena musisi dikasih nasi bungkus sementara para tamu makan di table,” kenang Armand. “Om Idris menginginkan musisi itu diperlakukan sama, kalau Anda undang saya artinya kalian butuh saya.”
Kenangan lain muncul dari Fadli Zon, penulis buku biografi “Idris Sardi, Perjalanan Maestro Biola Indonesia”. “Beliau adalah seorang tokoh musik Indonesia yang perfeksionis dan saya kira sampai saat ini tidak ada gantinya,” ungkapnya dengan serius.
Jauh hari sebelum mengalami kritis akibat penyakit asam lambung serta lever dan akhirnya wafat, Idris Sardi sempat merilis buku ini. Dan Fadli Zon menggarapnya melalui serangkaian wawancara yang dilakukan dalam berbagai kesempatan saat bersilaturahmi dengan almarhum. “Saya merasa kehilangan. Beliau adalah maestro musik nasional yang telah mewarnai dunia permusikan Tanah Air,” ujar Fadli lagi.
Dari buku ini terkuat karya Idris Sardi yang sangat luar biasa. Terutama dalam sejarah Indonesia. Ia pernah bertemu dan mendapat penugasan dari Bung Karno ketika berlangsungnya Operasi Trikora pada 1962. Ia juga mendapatkan penghargaan Piala Citra sebagai Penata Musik Terbaik. Antara lain, lewat film “Pengantin Remaja” (1971), “Perkawinan” (1973), “Cinta Pertama” (1974), dan “Doea Tanda Mata” (1985). “Dan yang pasti beliau berpangkat tentara sebagai Letnan Kolonel. Tentara untuk memajukan musik tentara,” ungkap Fadli Zon.
Buku “Idris Sardi, Perjalanan Maestro Biola Indonesia” beserta ribuan karya lagu yang pernah dihasilkannya menjadi warisan tak ternilai bagi sejarah musik di negeri ini. Selamat jalan Mas Idris Sardi. Semoga Allah menyediakan surga terindah untukmu. XPOSEINDONESIA/NS. Foto : Muhamad Ihsan dan Dudut Suhendra Putra
More Pictures