Jumat, Februari 21, 2025

Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Film Ikut Melestarikan Bahasa Dari Kepunahan

Kecil Besar

Industri perfilman Indonesia selalu mencari warna baru untuk disuguhkan kepada khalayak penonton film Indonesia. Adat dan budaya daerah beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film. Seperti film komedi dan horror, misalnya.

Untuk lebih melekatkan rasa kedaerahan dalam atmosfir cerita film, bahasa yang digunakan dalam adegan dan dialog film lebih ‘gurih” menggunakan bahasa daerah. Karena akan terasa hambar, kurang sedap jika film bernuansa daerah menggunakan bahasa di luar daerahnya. Hal ini sekaligus film memiliki nilai strategis ikut serta melestraikan bahasa daerah.

Wacana mengenai pentingnya mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait dengan warna baru untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai sarana hiburan karena ada istilah atau dialek yang bisa memunculkan tawa penonton. Lebih dari itu, penggunaan bajsa daerah dalam film sekaligus sebagai satu cara untuk melestarikan bahasa daerah yang kian tereliminasi di tengah pergaulan generasi Z.

Begitu bahasan webinar berjudul Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia, digelar panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Selasa, 15 Agustus 2023. Webinar kali ini menampilkan narasumber Bayu “Skak” Eko Moektito, seorang youtuber, komedian, sutradara, dan penulis skenario. Nara sumber lainnya Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU).

Webinar yang dipandu Supriyanto, jurnalis Tabloid Bintang Indonesia.com diikuti lebih dari 50 jurnalis dan penggiat perfilman. Kegiatan ini merupakan rangkaian Seri Kedua Webinar berkaitan dengan pengelenggaraan FFWI XIII tahun 2023.

Di sesi pertama, Bayu Skak menceritakan pengalamannya ketika menawarkan cerita film berbahasa daerah Jawa. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur sampai bertaruh dengan produser Starvision Chand Parwez Servia. Gara-gara, sang produser meminta film Yo Wes Ben tidak usah menggunakan Bahasa jawa di sepanjang film.

Bayu ngotot dan nekad sampai mengeluarkan pernyataan; “Kalau film tidak bisa meraih penonton sampai 500.000, honor saya tidak usah dibayar!”

“Dan itu pertaruhan nekad juga berat. Karena saya bakal tidak menerima honor sama sekali, padahal sudah kerja 6-7 bulan membuang waktu dan tenaga. Tetapi begitu film berhasil mengumpulkan penonton sampai 900.000. Bukan cuma saya yang ketagihan, produsernya pun memproduksi film “Yo Wis Ben 2”, ”Yo Wis Ben 3” dan ”Yo Wis Ben Finale,” ungkap Bayu yang memulai karier sebagai Youtuber tersebut.

Menurut Bayu, era hari ini semakin maju, perkembangan teknologi semakin pesat. Namun ia tidak ingin semua itu akan mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa. “Karena jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang akan lupa pada akar budaya!” ujarnya.

Karena itu, Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena Yo Wes Ben telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Lebih dari itu, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.

”Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu prihatin. Karena itu dia mengajak sineas dan para produser film terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.

“ Di bahasa daerah penonton juga menemukan hiburan dan lucu-lucuan dalam bahasa daerah tertentu, yang tidak ada di bahasa daerah lain,” kata Bayu yang masih akan terus mengembangkan film berbahasa daerah dengan memproduksi film bahasa Jawa Ngapak, bahasa Madura dan lain-lain.

Pelestarian Bahasa Daerah

Pengalaman Susi Ivvaty yang banyak aktif di bidang tradisi literasi menguatkan apa yang disampaikan Bayu Skak. Bahwa film memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah.

Dia mencontohkan beberapa film seperti “Siti“ dan “Turah“ yang menggunakan bahasa daerah Jawa, lalu ada film “Uang Panai “yang menggunakan bahasa Makasar –Bugis, dan film “Yuni“, yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang Banten.

Must Read

Related Articles