Setelah 29 tahun menempuh “jalan sunyi” dalam menjaga nyala musik tradisi Indonesia, kelompok musik Mahagenta pimpinan Uyung a.k.a Henry Surya Panguji akan menggelar konser tunggal bertajuk “Lentera Khatulistiwa” pada 15 November 2025, pukul 20.00–22.00 WIB, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pertunjukan berdurasi dua jam ini menjadi retrospektif perjalanan musikal Mahagenta sejak berdiri pada 11 November 1996 di Slipi, Jakarta Barat, dengan menyajikan 17 karya pilihan dari ratusan komposisi yang telah mereka lahirkan.
Semuanya dimainkan secara maraton tanpa jeda, menghadirkan pengalaman auditif yang intens dan meditatif bagi para penonton.
Lentera sebagai Metafora Kebudayaan
Menurut Uyung Mahagenta, judul “Lentera Khatulistiwa” memiliki makna filosofis yang dalam.
“Lentera adalah cahaya yang mencerahkan, bukan hanya di tengah kegelapan tetapi juga dalam kebutaan budaya,” ujarnya.
Ia menilai, di tengah arus modernitas yang gemerlap, manusia kerap kehilangan kepekaan telinga batin. “Budaya yang sesak sering meruntuhkan kebudayaan sebelumnya. Lentera Khatulistiwa kami maknai sebagai sinyal harapan, sebagai metafora untuk menyalakan kembali cahaya kebudayaan di garis khatulistiwa — setidaknya di Asia,” kata Uyung
Musik yang Menyapa dari Akar Nusantara
Konser ini, kata Uyung akan menampilkan rentang karya Mahagenta dari tiga fase penting perjalanan mereka, yakni Pertama, Tahap Shelter(8 tahun pertama) — lahir 5 karya unggulan, Kedua, Tahap Berguyub (8 tahun berikutnya) — melahirkan 6 karya terbaik, Ketiga Tahap Pendewasaan Karakter Bermusik (12 tahun terakhir) — menghasilkan 6 karya matang.
Dari 127 karya dan 80 aransemen yang pernah diciptakan, dipilih 17 komposisi melalui proses kurasi yang melibatkan pendengar awam, arranger, music director, dan komunitas penggemar Mahagenta (Mahagenia). Enam kriteria utama menjadi dasar seleksi: waktu penciptaan, varian genre, originalitas, kompleksitas, etika, dan estetika.
Mahagenta tetap setia pada prinsipnya: mengolah alat musik tradisional Indonesia secara bijak dan kontekstual dengan semangat kekinian.
Beberapa karya yang akan ditampilkan memperlihatkan keunikan itu — seperti pada lagu “Menari Nari” yang memadukan kecapi rincik dengan tangga nada pentatonis bernuansa oriental, berpindah birama dari 7/8 ke 11/8 hingga 3/4. Atau komposisi “Permata Khatulistiwa”, yang mengawinkan sitar India, saluang Minang, dan perkusi kendi menjadi jalinan nada lintas wilayah budaya.
Pada lagu “Cinta”, Mahagenta menampilkan vokal Melayu klasik yang lembut dan penuh rasa, dipadukan dengan alat musik Saung Gauk dari Myanmar — sebuah instrumen petik berbentuk perahu yang diolah dengan tangga nada pentatonis Madenda khas Jawa Barat. Hasilnya, sebuah karya eksperimental yang langka, elegan, dan sarat atmosfer spiritual.
Aransemen, Simbol, dan Filosofi
Dalam pembuka konser, penonton akan diajak memasuki suasana “Nuansa Pesisir” — musik overture yang menghadirkan suara gumam berpadu dengan Tek Yan, alat berdawai dua yang dimainkan dengan gaya Rebab Pesisir Selatan.
Filosofinya sederhana tapi dalam: “Jumlah dawai boleh berbeda, tapi cara memainkannya sama. Begitu juga bangsa ini: berbeda, namun dapat berbicara dalam bahasa yang sama,” tutur sang komposer utama Mahagenta.
Pertunjukan juga akan menghadirkan komposisi Rampak Kendi, dimainkan oleh tujuh pemusik. Dalam karya ini, setiap kendi memancarkan cahaya dari dalamnya, menciptakan efek visual alami seirama dengan irama perkusi — sebuah simbol bahwa “cahaya kebudayaan” bisa muncul dari hal paling sederhana sekalipun.
Dua Generasi, Satu Panggung
Konser “Lentera Khatulistiwa” tidak hanya menampilkan 17 pemusik yang menguasai beragam instrumen — dari gitar, drum, hingga bonang dan suling — tapi juga 62 penari yang mengekspresikan makna setiap komposisi.
Latihan dilakukan secara bertahap: dimulai dari partisi ritmis (bass, drum, gitar, piano), kemudian partisi instrumen tradisional (kendang, rebab, kecapi, saron), hingga partisi vokalis dan latihan gabungan bersama penari.
Proses kreatif ini berlangsung dengan prinsip “Sederhana dan Bersahaja”, mengutamakan keharmonisan musikal dan ekspresi budaya di atas teknik semata.
Menghidupkan Kembali “Telinga Tradisi”
Selama hampir tiga dekade, Mahagenta konsisten memelihara suara Indonesia di tengah derasnya arus industri musik modern. Namun perjuangan mereka tidak mudah.
“Sponsor yang mendukung musik tradisi sering hanya coba-coba. Media pun jarang memberi ruang, dan radio kini lebih menjadi hits player daripada hits maker,” ungkap mereka jujur.
Meski begitu, Mahagenta tetap memilih bertahan di jalur sunyi ini, meyakini bahwa musik tradisi bukanlah masa lalu — melainkan sumber daya estetika yang terus relevan.
“Musik tradisi sudah teruji oleh tiga hal penting: aturan, mutu, dan usia,” kata sang pendiri. “Kami hanya ingin menghadirkannya kembali dengan bahasa zaman sekarang — kontemplatif, eksploratif, bahkan eksperimental — tanpa kehilangan jiwanya.”
Lentera yang Tak Padam
“Lentera Khatulistiwa” bukan sekadar konser. Ia adalah perayaan perjalanan batin, dialog lintas waktu antara tradisi dan modernitas.
Mahagenta menyalakan kembali cahaya kecil di tengah riuh dunia digital — cahaya yang tak menyilaukan, tapi menuntun telinga dan jiwa untuk kembali mendengar, kembali merasa, dan kembali percaya bahwa musik tradisi adalah cahaya kebudayaan bangsa.XPOSEINDNESIA/NS Foto : Dok. Mahagenta



