Komisi III DPR yang tidak puas dengan putusan KPK, lalu membentuk Pansus. Ternyata putusan Pansus hanya menyontek putusan KPPU.
Komisi III lalu meminta Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan. Pihak Kejagung yang begitu bersemangat, karena mendapat dukungan dari Komisi III DPR, sempat mempersangkakan Laksamana Sukardi.
Namun karena ada persoalan di internal Kejaksaan Agung, penanganan kasus kapal tanker tersebut dihentikan. Dalam putusan Peninjauan Kembali MA menyatakan putusan KPPU salah.
“Saya lihat di sini DPR terbelenggu nalar. Mereka tahu KPK sudah mengatakan tidak ada kerugian negara, mereka tetap ngotot.
Kejagung yang mendapat dukungan DPR tetap melakukan penyelidikan. Dalam eforia reformasi, hakim ternyata takut memutus perkara secara obyektif,” kata Laks.
Advokat Petrus Selestinus mengatakan,
Laksamana dan Megawati, adalah tokoh yang berjasa terhadap reformasi, walau pun yang muncul sebagai tokoh reformasi, orang lain.
“Ketika itu Pak Laks justru dikriminalisasi justru oleh teman-temannya sendiri di Komisi III, terutama dari PDIP dan Demokrat. Teman-temannya di Komisi III sebagai aktor. Mereka mendesak KPK mentersangkakan Pak Laks. Padahal KPK sudah mengatakan tidak menemukan kerugian negara, karena tidak ada harga pembanding. Di situ Komisi III marah, lalu meminta Jaksa Agung menangani peniualan VLCC ini. Padahal harusnya KPK,” kata Petrus.
Anas Urbaningrum menilai, perkara yang dialami oleh Laksamana Sukardi adalah cara untuk menjegal karier politiknya. Waktu itu Laks adalah seorang politikus muda yang punya masa depan cemerlang.
“Waktu itu Pak Laks jadi tokoh yg masih punya masa depan politik. Dicari jalan agar masa depan politiknya habis. Kalau cara politik tidak bisa, dicarilah jalan lain. Dulu stempelmya PKI. Di era reformasi dengan stempel korupsi. Stempel itu lebih kuat. Stempel korupsi akan membuat orang jadi warganegara kelas lima!” tegas Anas. XPOSEINDONESIA Foto : Dudut Suhendra Putra