“Ada penulis dan bukan Mbak Asma nih, yang kadang memperlakukan novelnya seperti seorang Ibu yang membanggakan sang anak. Padahal, si anak kurang cemerlang. Tapi sebagai Ibu, tetap saya ia membangga-banggakan!” kata Jujur.
Berdasarkan pengalaman Jujur, saking posesifnya sang penulis novel dengan karya tersebut, bisa menjadi hambatan bagi pekerjaannya sebagai penulis skenario.
“Karena dia terus menguntit, untuk selalu kayak mengabsen. Untung, ketika itu saya hanya menjadi konsultan, bukan penulis skenarionya,” tutur Jujur yang menulis skenario “Ada Apa Dengan Cinta” (2002)
Karena itu, menurut Jujur wajib bagi dirinya sejak awal berbicara pahit dengan produser tentang seberapa bebas, ia bisa melakukan adaptasi. Dan seberapa jauh keterlibatan sang penulis novel.
Jujur setuju dengan pernyataan Hanung, yang menyebut, saat menerima pekerjaan menulis skenario dari adaptasi apapun, baik novel, cerpen bahkan true story, tidak ada niatan untuk memelencengkan cerita.
“Bahkan saya tidak tega memindahkan atmosfir kota pada setting yang ditulis dalam novel! Karena itu akan merusak film yang sudah ada dalam bayangan pembacanya!”
Menurut Jujur, jika sebuah novel sudah filmis, sudah langsung terbayang suasana dan strukturnya. Tinggal memang pada sebuah novel selalu ada ruang untuk menceritakan tokoh dengan detail.
Namun dalam menghadapi novel kaliber tertentu, seperti “Bumi Manusia” karya Pamoedya Ananta Toer yang pernah akan diproduksi Mira Lesmana, Jujur mengaku ada perasaan ngeper untuk bermain-main.
“Kalau orang Jawa bilang nranyak sama orang tua (kurang ajar, kurang sopan, Red). Ada perasaaan begitu. Jadi pilihannnya hanya dua. Kita bikin atau tidak sama sekali! Tidak ada ruang untuk menafsir-nafsir. Karena penafsirannya sudah jelas!” ungkap Jujur.
Webinar FFWI Seri kedua, selain dihadiri Wina Armada selaku Ketua Pelaksana FFWI 2022, diikuti pula oleh Eddy Suwardi Dit PMM Kemendikudristek, Ahmad Fuadi, penulis novel Trilogi Negeri 5 Menara dan lebih kurang 50 wartawan hiburan. XPOSEINDONESIA