Dari Webinar FFWI Series Ke 2 : Novel Lebih Cocok Dijadikan Series, Ketimbang Film

- Advertisement -
- Advertisement -

Sutradara Hanung Bramantyo memuji tema webinar Buku Best Seller, Film Box Office? Yang diselenggarakan Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Selasa,7 Juni 2022.
“Ini tema menarik. Saya pikir menjadi sangat penting, jika tayangan ini diketahui masyarakat umum terutama penonton film Indonesia,” kata Hanung dalam webinar yang juga diisi narasumber lain yakni Asma Nadia dan Jujur Prananto dengan moderator Noorca M. Massardi.

Hanung menyebut ada alasan utama dari perlunya penonton Indonesia mengetahui hasil webinar.

“Karena problem utama dalam pembuatan adaptasi karya novel ke film, sebetulnya tidak hanya pada kreativitas film maker, tetapi juga pada mindset penonton. Kebanyakan penonton Indonesia selalu menganggap film bukanlah new message dari novel. Kalau begitu, maka film dan novel tidak pernah works.”

- Advertisement -

Namun menurut Hanung, jika penonton sudah punya kesadaran bahwa film adalah sebuah karya baru dari novel, maka jika sebuah film mengadaptasi novel apapun hasilnya, tidak akan jadi persoalan lagi.

“Dan pasti tidak ada perdebatan kenapa filmnya tidak sesuai novel. Atau kok filmnya malah lebih jelek dari novel,” ungkap ayah lima anak tersebut.

Padahal, masih kata Hanung, produk novel memang berbeda dengan film. “Novel dikerjakan oleh satu orang, sementara film digerakan oleh banyak orang. Dan sangat tidak mungkin film dikerjakan seorang diri, sehebat apapun sutradaranya,” ungkap pria bernama lengkap Setiawan Hanung Bramantyo yang berusia 46 tahun ini.

- Advertisement -
Menyalin

Lebih lanjut Hanung menyebutkan, dalam mengadaptasi cerita novel, sebagai sutradara tidak ada keinginannya untuk melencengkan cerita.
“Sama sekali tidak ada. Itu yang harus disadari bersama. Tidak ada keinginan atau egositas dari film maker untuk kemudian melencengkannya dari novel,” ujar Hanung sungguh-sungguh.

Tapi kenapa tetap bisa terjadi sebuah novel yang diadaptasi sangat berbeda dengan film? Menurut Hanung, ini memang berpulang pada soal struktur cerita.

“Kadang-kadang dalam novel best seller yang saya temui, strukturnya berbeda jauh dengan struktur baku dari teori penulisan skenario tiga bab atau delapan sequence,” ungkap Hanung lagi.

Hanung juga menyebut, sebetulnya akan jauh lebih leluasa sebuah novel diadaptasi bukan ke dalam film layar lebar, melainkan ke dalam cerita series. Karena series punya ruang untuk menjelaskan dan bisa bermain dengan karakter yang ada.

“Penonton bisa menyaksikan film series, sama seperti membaca novelnya. Kalau kita nonton series sambil ngantuk, bisa distop dulu. Kemudian nanti nyambung lagi! Kalau film tidak bisa begitu? Karena film layar lebar, basic-nya seperti nonton opera. Masuk, duduk, dan ikutin alur yang ada sampai ending!”

Wajib Setia pada Semangat

Penulis laris 3A, menyebut karya tulisnya yang difilmkan, tidak melulu melalui dari novel yang sudah diterbitkan dan menjadi best seller.

“Bisa juga dari cerpen saya atau malah sinopsis yang sengaja saya tulis sepanjang 6-8 halaman. Namun, itu memang tidak mudah. Saya kirim sinopsis itu sampai tujuh kali ke Manoj (Punjabi) baru direspon,” ujar Asma Nadia sambil menyebut film “Surga Yang tak Dirindukan III”, “Jelbal Traveler” sebagai salah satu sinopsis yang ditulisnya, sebelum buku diterbitkan.

“Sebetulnya ada tiga karya saya yang belum pernah diterbit dalam buku, dan sudah akan difilmkan. Semua itu dimulai dari sebuah sinopsis yang saya tulis 6-8 halaman,” kata Asma Nadia lagi.

Asma Nadia mengaku, sejak pertama kali bukunya difilmkan yakni “Mak Ingin Naik Haji”, dan “Rumah Tanpa Jendela”, ia paham betul bahwa karya film pasti berbeda dari buku. Karena kebutuhan visual dan kebutuhan tulisan pasti berbeda.

Namun, ketika karyanya difilmkan, Asma Nadia meminta kepada produser, penulis skenario dan sutradara untuk tetap menggunakan benang merah atau semangat untuk tetap setia pada novelnya.

“Jadi visualnya boleh seperti apa, namun saya minta semangatnya tetap sama. Saya juga minta ke pihak production house untuk dilibatkan dalam pengembangan skenario, baik sebelum film dibuat atau dalam proses syuting. Namun, saya juga tahu batasan untuk tidak mengintervensi kerja sutradara di lapangan!”

Penulis Novel Posesif

Sementara itu, di bagian lain sebagai penulis skenario Jujur Prananto, melihat masih ada penulis novel yang sangat posesif dengan karyanya yang bakal difilmkan. Dan ini menjadi hambatan bagi pekerjaannya mengadaptasi cerita.

“Ada penulis dan bukan Mbak Asma nih, yang kadang memperlakukan novelnya seperti seorang Ibu yang membanggakan sang anak. Padahal, si anak kurang cemerlang. Tapi sebagai Ibu, tetap saya ia membangga-banggakan!” kata Jujur.

Berdasarkan pengalaman Jujur, saking posesifnya sang penulis novel dengan karya tersebut, bisa menjadi hambatan bagi pekerjaannya sebagai penulis skenario.

“Karena dia terus menguntit, untuk selalu kayak mengabsen. Untung, ketika itu saya hanya menjadi konsultan, bukan penulis skenarionya,” tutur Jujur yang menulis skenario “Ada Apa Dengan Cinta” (2002)

Karena itu, menurut Jujur wajib bagi dirinya sejak awal berbicara pahit dengan produser tentang seberapa bebas, ia bisa melakukan adaptasi. Dan seberapa jauh keterlibatan sang penulis novel.

Jujur setuju dengan pernyataan Hanung, yang menyebut, saat menerima pekerjaan menulis skenario dari adaptasi apapun, baik novel, cerpen bahkan true story, tidak ada niatan untuk memelencengkan cerita.

“Bahkan saya tidak tega memindahkan atmosfir kota pada setting yang ditulis dalam novel! Karena itu akan merusak film yang sudah ada dalam bayangan pembacanya!”

Menurut Jujur, jika sebuah novel sudah filmis, sudah langsung terbayang suasana dan strukturnya. Tinggal memang pada sebuah novel selalu ada ruang untuk menceritakan tokoh dengan detail.

Namun dalam menghadapi novel kaliber tertentu, seperti “Bumi Manusia” karya Pamoedya Ananta Toer yang pernah akan diproduksi Mira Lesmana, Jujur mengaku ada perasaan ngeper untuk bermain-main.

“Kalau orang Jawa bilang nranyak sama orang tua (kurang ajar, kurang sopan, Red). Ada perasaaan begitu. Jadi pilihannnya hanya dua. Kita bikin atau tidak sama sekali! Tidak ada ruang untuk menafsir-nafsir. Karena penafsirannya sudah jelas!” ungkap Jujur.

Webinar FFWI Seri kedua, selain dihadiri Wina Armada selaku Ketua Pelaksana FFWI 2022, diikuti pula oleh Eddy Suwardi Dit PMM Kemendikudristek, Ahmad Fuadi, penulis novel Trilogi Negeri 5 Menara dan lebih kurang 50 wartawan hiburan. XPOSEINDONESIA

More Picture

noorca m. massardi
noorca m. massardi
asma nadia
asma nadia
hanung bramantyo
hanung bramantyo
edy suwardi
edy suwardi
- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -