Hanung juga menyebut, sebetulnya akan jauh lebih leluasa sebuah novel diadaptasi bukan ke dalam film layar lebar, melainkan ke dalam cerita series. Karena series punya ruang untuk menjelaskan dan bisa bermain dengan karakter yang ada.
“Penonton bisa menyaksikan film series, sama seperti membaca novelnya. Kalau kita nonton series sambil ngantuk, bisa distop dulu. Kemudian nanti nyambung lagi! Kalau film tidak bisa begitu? Karena film layar lebar, basic-nya seperti nonton opera. Masuk, duduk, dan ikutin alur yang ada sampai ending!”
Wajib Setia pada Semangat
Penulis laris 3A, menyebut karya tulisnya yang difilmkan, tidak melulu melalui dari novel yang sudah diterbitkan dan menjadi best seller.
“Bisa juga dari cerpen saya atau malah sinopsis yang sengaja saya tulis sepanjang 6-8 halaman. Namun, itu memang tidak mudah. Saya kirim sinopsis itu sampai tujuh kali ke Manoj (Punjabi) baru direspon,” ujar Asma Nadia sambil menyebut film “Surga Yang tak Dirindukan III”, “Jelbal Traveler” sebagai salah satu sinopsis yang ditulisnya, sebelum buku diterbitkan.
“Sebetulnya ada tiga karya saya yang belum pernah diterbit dalam buku, dan sudah akan difilmkan. Semua itu dimulai dari sebuah sinopsis yang saya tulis 6-8 halaman,” kata Asma Nadia lagi.
Asma Nadia mengaku, sejak pertama kali bukunya difilmkan yakni “Mak Ingin Naik Haji”, dan “Rumah Tanpa Jendela”, ia paham betul bahwa karya film pasti berbeda dari buku. Karena kebutuhan visual dan kebutuhan tulisan pasti berbeda.
Namun, ketika karyanya difilmkan, Asma Nadia meminta kepada produser, penulis skenario dan sutradara untuk tetap menggunakan benang merah atau semangat untuk tetap setia pada novelnya.
“Jadi visualnya boleh seperti apa, namun saya minta semangatnya tetap sama. Saya juga minta ke pihak production house untuk dilibatkan dalam pengembangan skenario, baik sebelum film dibuat atau dalam proses syuting. Namun, saya juga tahu batasan untuk tidak mengintervensi kerja sutradara di lapangan!”
Penulis Novel Posesif
Sementara itu, di bagian lain sebagai penulis skenario Jujur Prananto, melihat masih ada penulis novel yang sangat posesif dengan karyanya yang bakal difilmkan. Dan ini menjadi hambatan bagi pekerjaannya mengadaptasi cerita.