Dari Seminar KPI dan AJV : Konten di TV, Youtube, OTT juga Sosmed Perlu Diawasi dan Dibatasi.

- Advertisement -
- Advertisement -

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengaku kecolongan dengan beragam konten yang beredar di platform digital seperti di Youtube maupun di OTT.

Tulus Santoso, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, dalam Seminar Nasional “Reposisi Media Baru dalam Diskursus Revisi Undang-Undang Penyiaran” yang digelar KPI bersama Aliansi Jurnalis Video (AJV)  menyebut bahwa,  di awal pemunculannya  banyak orang menilai Youtube lebih baik dari televisi.

“Namun yang pernah bilang  seperti itu, hari ini menyesal. Karena Youtube tidak lebih baik dari TV, baik dari aspek perlindungan pubik, khususnya  perlindungan kepada anak dan remaja,  juga terkait dengan kualitas konten yang mengandung sensualitas dan penuh prank, jelas ini kecolongan,”ungkap Tulus

- Advertisement -

Lebih lanjut Tulus menilai, ”Konten tayangan di televisi nasional maupun swasta, jauh lebih baik dan lebih sesuai aturan ketimbang  di OTT dan Youtube,”  ungkap Tulis   di Lumire  Hotel,  Senen  Jakarta Pusat(2/4.

Lebih lanjut Tulus  mengurai  beberapa masalah.  Misalnya di TV Nasional maupun swasta  ada aturan yang melarang  munculnya gambar rokok, miras, alkohol bahkan juga yang  berbau seksualitas.

“Tapi di Youtube dan  OTT itu  malah terjadi.  Karena  mereka belum  atau tidak diatur oleh UU Penyiaran!” ungkap Tulus

- Advertisement -
Menyalin

Tulus mengklaim bahwa pengaturan konten isi siaran dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik.

Pengaturan tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tayangan yang tidak sesuai. Dan memang perlu adanya perlindungan kepada penonton, terutama terhadap tayangan yang mengandung kekerasan sadis  dan seksualitas yang tidak  pantas ditonton anak-anak dan remaja!”

Menurut Tulus, pembatasan isi tayangan bisa jadi  membuat  sebagian masyarakat kecewa. Namun tidak mungkin juga harus memenuhi seluruh keinginan publik dalam hal isi siaran.

Dalam pandangan Tulus, negara malah bisa dianggap gagal jika mencoba memuaskan semua orang. Oleh karena itu, penting menjaga agregasi kepentingan publik dalam pengaturan konten siaran.

“Masyarakat yang tidak setuju dengan pengaturan konten isi siaran boleh menyuarakan pendapatnya ke DPR RI sebagai usulan pembentuk undang-undang,”  ungkap Tuls

Tulus  juga menekankan kepentingan publik harus diutamakan dalam proses tersebut, bukan hanya dari satu kelompok masyarakat saja.

Pembatasan Konten Sosial Media

Di saat yang sama, pembicara kedua, Nugroho  F Yudho, Dewan Pembina AJV, menyoal tidak munculnya lagi kata kata Media Baru dalam draft Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan berganti dengan kata platform digital.

Dalam pengamatan Nugroho, sosial media adalah sebagai pelantar digital untuk berkomunikasi dan berinteraksi oleh para pengguna dengan melakukan interaksi social lewat virtual atau disebut platform digital.

“Jadi social media seperti Facebook, X , Instagram harus dilakukan di platform digital. Tetapi yang namanya platform digital belum tentu merupakan social media,” ujarnya sambil menyebut Tokopedia, Blue Bird  sebagai platform digital  yang dipergunakan untuk keperluan keperluan berniaga

Nugroho  menyebut, yang namanya social media memiliki karakter berbeda-beda.  Ia juga melihat  belakangan ini, di seluruh dunia muncul  pro kontra terhadap pembatasan konten di social media

Dalam pandangan Nugroho,  hal ini  dipicu sejak tahun 2016,  di mana banyak orang di dunia sadar tentang perlunya  pembatasan konten social media.

Terutama di Inggris.  Pada 2016 munculnya kasus Brexit,  yakni saat Inggris keluar dari Uni Eropa  lewat referendum. Dan di tahun yang sama di  Amerika Hillary Clinton dikalahkan Donald Trump.  “Dua kejadian ini digerakan oleh social media. Dan sejak itu dunia menjadi sadar  bahwa social media itu harus dibatasi,” kata mantan jurnalis masalah Hukum di harian Kompas tersebut.

Menurut Nugroho,  meskipun semua orang di dunia sadar dan merasa perlu adanya pembatasan, tapi belum ada  satupun negara  di dunia yang secara efektif mampu mengaturnya.

“”Kenapa? karena di Amerika sendiri masih banyak pembela kebebasan berpendapat yang ingin pendapatnya tidak dibatasi!” ungkap Nugroho.

Nugroho memberi usulan,  jika  masalah pembatasn sulit dilakukan, perlu di ambil jalan yang  paling memungkinkan. 

”Yakni dengan jalan meniru seperti di China,   yang  secara tegas tidak  mengizinkan hadirnya Facebook. Mereka  menggunakan patform milik sendiri.”

Alernatif kedua, Nugroho mengusulkan  adanya lembaga yang punya kewenangan negara untuk mengatasi hal ini.

“Bisa KPI, bisa lembaga lain. Dan dalam negosiasinya, lebaga  ini harus mampu melakukan pendekatan,  di mana Negara  lah yang mendekati  platform  tersebut dan mengusulkan  penjagaan social media yang  lebih ketat. Misalnya, dengan mengusulkan masalah sara  yang wajib diawasi dan dijaga secara ketat!” tutupnya. XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dudut Suhendra Putra

- Advertisement -

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

- Advertisement -