“Bahkan saking kecewanya budayawan Gunawan Mohamad sampai perlu menangis di televisi! Mereka yang menangis itukan karena menganggap kekuasan Jokowi berbeda di awal dengan di masa akhir,” ungkap mantan wartawan Kompas yang kini juga bermain film tersebut.
“Saya dari 2014 biasa saja melihat kekuasaan Jokowi. Jadi, sekarang pun perasaan saya biasa saja,” kata Sujiwo Tejo.
Sujiwo Tejo menyebut, politik tangan besi bisa mematikan nyali dan kekuasaan yang dinafikan mematikan nalar.
Sementara itu, Dr Mohammad Sobari, akbrab disapa Kang Sobari mengatakan, kebudayaan adalah sistem atau simbol, atau bisa beraneka macam sebutan
Sobari menilai budaya sebagai identitas yang lengkap dalam diri. “Lirik bukan puisi. Puisi dunia yang lain lagi. Lirik bisa membangkitkan semangat. Etika melahirkan budi pekerti,” katanya.
Sedangkan menyikapi kondisi bangsa saat ini, Kang Sobari menilai seperti sebuah nilai budaya.
“Kebudayaan itu jatuh bangun. Jangan ditangisi karena itu sebuah proses. Selalu akan ada harapan baru. Harapan adalah roh kehidupan. Jadi jangan bersedih karena selalu akan ada harapan baru,” katanya
Seperti halnya dalam dialektis dalam perpolitikan Indonesia, “Jatuh bangun suatu kekuasaan itu dialami sepanjang sejarah Indonesia,” ujar Kang Sobari.
“Banyak orang mengeluh dan merasa sedih ketika Soekarno jatuh dari kekuasaan. Begitu juga ketika kekuasaan Soeharto runtuh oleh air mata dan darah,” kata Kang Sobari yang bergelar doktor dari Monash University Australia itu.
“Makanya kalau suasana politik (Indonesia) seperti sekarang ini, ya itu dialektis, biasa saja. Kekuasaan itu memang ada kalanya jatuh dan bangun,” begitu kata Kang Sobari.
Dia memberi kiasan, apa yang dirasakan oleh seseorang di tengah suasana politik sekarang ini, bisa dirasakan oleh banyak orang juga.
“Kalau kekuasaan itu diumpakan matahari, bukan hanya ada satu orang merasakan panasnya matahari, jutaan orang juga merasakan panas yang sama,” tukas budayawan itu. XPOSEINDONESIA Foto : Dudut Suhendra Putra