“Sebagian memang sudah ada yang bagus, tapi persentasinya masih banyak yang nggak bagus. Ya 70 persen jelek, 30 persen bagus,” bebernya.
Lebih lanjut Kemala menyebut, “Film kita nggak laku di luar negeri, sama seperti kita memandang rendah film Malaysia, maka orang Malaysia pun memandang rendah film kita,”
Kemala mengaku sudah melakukan berbagai usaha agar film Indonesia dikenal di mancanegara. “Tentu kita punya program-program. Misalnya riset penonton, memfasilitasi pembuatan film bermutu, membuat festival, mengikutkan film bermutu ke festival internasional. Tetapi kembali lagi, kita kembali lagi kepada penonton,” katanya.
Sementara Ody M Hidayat memaparkan produksi cara baru film yang bisa langsung menggaet penonton. “Yakni, angkat cerita dari novel laris. karena novel sudah memiliki pembaca tersendiri. Kami harus ikuti itu. Jadikan target penontonnya tepat. Saya sekarang ingin coba tembus market Malaysia dan Singapura karena keuntungan di Indonesia tidak bisa diharapkan lagi,” kata Ody.
Untuk itu pula Ody berani membeli membeli novel yang akan diadaptasi film dengan harga sangat tinggi. “Kami membeli right memfimkan novel laris ‘Bulan Terbelah di Langit Amerika’ karya Hanum-Rangga dengan harga tertinggi, Rp 1,5 Milyar!”
Sedangkan Direktur Jaringan Bioskop Tri Rudi Anitio membantah adanya dugaan diskriminasi terhadap produser nama baru, dengan jalan membatasi dan menentukan waktu pemutaran film yang berbeda dibanding produser yang sudah punya nama.
Bantahan ini dikeluarkan setelah Gandhi Fernando, produser dari Renee Pictures yang hadir dalam diskusi itu mempertanyakan, mengapa perlakuan terhadap jadwal tayang filmnya berbeda dengan yang diberikan untuk produser lain. “Saya setahun sejak mendaftar baru dapat jadwal, sementara ada film lain, yang belum jadi saja sudah dapat slot, “kata Gandhi.
Tri Rudi Anitio menyarankan, “untuk mendapatkan jadwal tayang, ada mekanisme yang harus diikuti produser. Film harus didaftarkan dengan synopsis dan trailer serta pengajuan jadwal tayang. Sejak April 2015, kami sudah bisa tentukan jadwal, saat kami terima trailer dari pemilik film. Mekanisme untuk jadwal tayang diserahkan ke produser, bukan ke bioskop,” kata Anintio lagi.
Diskusi yang tetap meninggalkan pertanyaan besar tanpa jawaban kongkrit ini, sama sekali tidak membahas kemungkinan adanya penurunan jumlah penonton lantaran budaya dan kebiasaan orang muda sudah berubah.
Seorang penonton muda pencinta film Indonesia yang hadir dalam diskusi ini dengan jujur mengaku “Sekarang download film apapun mudah. Jika download gratis dengan kualitas prima mudah didapat, ngapain juga nonton harus ke biosko dan membayar?” katanya dengan santai XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dudut Suhendra Putra