Kabar gembira! Yuyus Tanuatmadja, lulusan Konservatori Karawitan Bandung, (1970) berhasil membuat bass gitar elektrik, gitar melody juga biola dari bambu! Alat musik itu sudah resmi diperkenalkan lewat acara Festival Bambu Nusantara 2013. Barry Likumahuwa dan Agam Hamzah memainkannya di hari pertama acara ini.
Yuyus awalnya adalah seorang guru yang mengajar berbagai alat musik Sunda, mulai dari angklung, arumbang, dan lain-lain di berbagai sekolah di Bandung. Biasanya, untuk mengajar ia membeli alat musik dari toko. Belakangan, ia mencoba membuat sendiri alat musik untuk mengajar. Sampai kemudian ia juga membuat gitar, bass dan biola dari bambu.
Prinsip kerja bass bambu sama dengan bass pada umumnya. Bentuknya sama. Hanya tempat resonansinya saja yang terbuat dari bambu. Sementara senar bass tetap menggunakan senar konvensional. āDalam hal suara, awalnya tidak standard dan belum bisa dimainkan dengan alat musik lain. Diperlukan watu 20 tahun, untuk membuat bass dan gitar bambu yang bisa dimainkan dengan sound sempurna, seperti bass pada umumnya.ā
Menurut Yuyus, sebetulnya ada beberapa pengrajin lain yang juga mencoba membuat gitar dan bass bambu. Namun, mereka hanya sekadar bikin untuk dimainkan sendiri, sound ānya belum bisa keluar sempurna. āKarena itu mereka tidak berani minta alatnya dimainkan oleh band ataupun musisi profesional. Kalau saya sih berani. Alhamdullilah, Barry Likumahuwa dan Adam Hamzah sudah melakukan uji coba. Kata mereka suara bas dan gitar elektrik bambu ternyata lebih natural,ā ungkap Ketua Gabungan Seniman Pengrajin Bandung & Saiderna itu.
Bambu Sehat, Tua & Tegak Lurus
Secara teknis, untuk membuat bass atau gitar dari bambu sebetulnya tidak sulit. Yuyus bisa dibantu pengrajin lain dalam memotong dan mengamplas bambu. Yang sulit justru menemukan bahan yang sehat dan berlualitas. āTanda bambu sehatnya adalah, sudah berumur tua, tumbuh dengan tegak dan tidak bengkok,ā ungkap Yuyus. āUntuk menemukan bambu begini, harus saya sendiri yang mencarinya , tidak bisa dititipkan ke orang lain,ā tutur pria kelahiran 16 Mei 1951 ini,
Sementara untuk waktu pengerjaannya, hanya butuh waktu paling lama satu bulan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Untuk satu bass, diperlukan hanya satu batang bambu untuk bagian ālehernyaā. Sementara untuk bagian badan dicari bambu lain yang lebih kecil dan tua. Makanya, sebuah bass dan gita bambu yang sudah jadi harganya hanya sekitar Rp 2 juta.
Musuh Bambu : Cuaca dan Hama
Di tempat lain, Dwiki Dharmawan menyebut tidak mudah membuat alat musik dari bambu. Hal ini banyak disebabkan karena sifat bambu yang sangat peka terhadap perubahan udara. Jika dibawa ke tempat dengan suhu udara yang berbeda saja, bambu itu bisa pecah. āKarena bambu itu sangat sensitif jadi susahnya itu di resonansinya. Dari Bandung di bawa ke Jakarta aja udah beda,ā tutur Dwiki.
Dwiki mengaku pernah membawa alat musik bambu ke luar negeri. Ketika sampai di sana suara yang dihasilkan pun berbeda atau bahkan bisa pecah karena terlalu peka terhadap perubahan udara. Mungkin hal inilah yang membuat sulitnya musisi Indonesia membawa musik bambu ke mancanegara. Dibutuhkan teknologi yang bisa memecahkan masalah ini agar musik bambu nusantara bisa bergema di kancah global.
Yuyus menyetujui pendapat itu. Namun, ia menyebut persoalan itu akan sering terjadi pada angkung dan alat lain. Bukan pada gitar dan bass. āUntuk gitar pengaruhnya tidak terlalu besar. Karena yang menghasilkan suara bukan bambu, melainkan dawainya. Bambu hanya pelengkap,ā ungkapnya.
Secara jujur Yuyus menyebut, kelemahan utama alat musik dari bambu ini sebetulnya adalah hama binatang. Jadi harus dicari cara bagaimana mengawetkan bambu, supaya tahan terhadap hama. Caranya? āBambunya harus diasap dengan memakai belerang atau bisa juga digunakan kapur dan kamper. Jika kualitas kurang bagus, bambu gampang diserang hama!ā tutur ayah dua anak ini.
Menurut pengalaman Yuyus, biasanya sebuah gitar bass atau gitar bambu dianggap aman, jika bisa melewati usia 10 tahun tanpa ganguan hama. āKalau sudah lewat sepuluh tahun bersih hama, malah makin lama bisa semakin kuat! Dan tantangan terbesar alat ini justru pada hama yang akan menggerogotinya di usia di bawah sepuluh tahun!ā
Tantangan lain dari alat ini adalah, pencarian bahan. āSeandainya diproduksi massal, produk kita akan kalah dengan alat musik yang diproduksi secara pabrikan. Karena kami di sini kan mengerjaan sambilan dan ini seperti mengerjakan secara art. Ini kan keranjinan tangan!ā
Sayangnya, karya art ini belum dipatenkan. Yuyus menyebut, ini semata-mata karena…. āSaya belum berpikir apakah akan terus membuat seperti ini. Sebetulnya saya ingin juga dipatenkan…. tapi saya sudah tua, harus ada yang melanjutkan. Misalnya, dari anak muda… apakah itu dari murid-murid saya atau siapa saja yang berminat melanjutkan…,ā katanya seolah menerawang.
Nini Sunny. Foto Muhamad Ihsan dan Yuri Rahadian)