Di setiap sudut lapangan, suara bola memantul selalu memberi energi tersendiri bagi Hessy Tamim. Di ruang yang riuh itu, ia menemukan tempat pulang, tempat belajar, dan tempat membesarkan generasi baru—bukan hanya bagi tiga anaknya, tapi bagi ratusan anak di Malang yang tumbuh bersama basket.
Dua periode memimpin Perbasi Kota Malang, Hessy menghadirkan gaya kepemimpinan yang tegas sekaligus mengayomi. Ia hadir bukan sebagai pejabat organisasi, melainkan sebagai sosok ibu yang menjaga ekosistem basket tetap sehat dan terus bergerak.
“Perbasi itu payung semua klub di wilayahnya,” katanya saat ditemui di GOR Soemantri Brojonegoro, Jakarta, ketika mendampingi Tim Jawa Timur dalam POPNAS 2025.
Ia berbicara sambil memantau pertandingan—satu momen yang menegaskan betapa lapangan adalah ruang yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan.
“Alhamdulillah, kami dapat emas untuk 3×3 putri, dan perak untuk 3×3 putra, 5×5 putri, dan 5×5 putra,” ujarnya, masih dengan semangat seorang pelatih yang tak pernah lelah memberi dukungan.
Jalan Terjal Seorang Ketua
Perjalanan awal Hessy di Perbasi tidak sepenuhnya disambut manis. Di periode pertama jabatannya, ia menghadapi penolakan, kritik, dan ketidakpercayaan. Namun ia memilih menjawab dengan hasil, bukan kata-kata.
“Ada yang tidak suka kebijakan saya. Tapi saya bilang, tutup kuping yuk, kita buktikan lewat prestasi,” kenangnya.
Bagi Hessy, kepemimpinan berarti membangun jaringan yang kuat—dengan pemerintah, KONI, Dispora, sekolah-sekolah, hingga Perbasi daerah lain. Ia tumbuh dalam keyakinan bahwa organisasi yang baik berdiri di atas kesinambungan.
“Kamu ada karena mereka ada. Jangan merusak yang sudah dibangun pendahulu,” ujarnya lugas.
Lapangan sebagai Ruang Aman
Basket, bagi Hessy, bukan hanya olahraga. Ia melihatnya sebagai ruang pembentukan karakter, tempat anak-anak belajar tentang kedisiplinan, sikap, dan cara menghargai proses.
“Pembinaan itu dimulai sejak usia 10 sampai 18 tahun. Anak-anak saya tumbuh di rentang usia itu, jadi setiap hari saya selalu dekat dengan dunia basket,” katanya.
Ia menolak keras praktik kekerasan dalam pembinaan. Baginya, seorang pelatih adalah pendidik—bukan penguasa.
“Ajar anak-anak dengan hati. Saya tidak pernah membentak anak sendiri. Kalau anak dikasari, dia akan tumbuh kasar,” ucapnya lembut.
Nilai yang ia tekankan sederhana tapi mendasar: akademik nomor satu, attitude menyusul, dan basket menjadi medium untuk belajar tentang hidup.
Perempuan yang Tumbuh di Lapangan Maskulin
Meski dunia basket kerap didominasi laki-laki, Hessy tidak merasa kecil di dalamnya. Ia tahu betul jumlah pemimpin perempuan masih minim, namun hal itu justru menjadi tantangannya.
“Tidak banyak yang mau dan bisa. Tapi buat saya, ini panggilan,” ujarnya.
Ia aktif berdiskusi dengan ketua-ketua Perbasi kabupaten/kota lain di Jawa Timur, membahas arah pembinaan dan memperbaiki sistem yang sudah berjalan. Di ruang dialog itulah ia menemukan bahwa perubahan terbesar lahir dari kerja kolektif, bukan ambisi personal.
Melihat DBL dengan Kacamata Berbeda
Ketika topik DBL muncul, mata Hessy langsung berbinar. Ia sadar turnamen ini sering memicu pro-kontra, khususnya terkait aspek bisnis. Tapi ia memilih melihat nilai positif yang tumbuh darinya.
“Siapa sih sekarang yang tidak mengejar bisnis?” katanya ringan.
Yang membuatnya bangga bukan hanya kompetisi, melainkan kreativitas para siswa yang mendukung tim sekolahnya.
“Saya lihat OSIS jualan kue, bikin kaos, galang dana buat beli tiket dan banner. Di situ ada jiwa entrepreneurship yang lahir.”
Tiga Anak, Tiga Cerita, Satu Lapangan
Di rumah, Hessy tetaplah seorang ibu yang membesarkan tiga anak berprestasi yang semuanya dibesarkan oleh basket.
“Satu kuliah di UNAIR, satu di ITS, satu di Brawijaya. Mereka semua main basket sejak kelas satu SD,” ujarnya bangga.
Ia mengajarkan mereka untuk menghormati pelatih dan menjunjung etika lebih tinggi dari kemampuan teknis.
“Kalau ada yang melawan pelatih, saya suruh keluar dulu. Belajar etika. Saya siapkan mereka untuk masa depan, bukan cuma untuk hari ini.”
Akhir Jabatan, Bukan Akhir Perjalanan
Desember tahun depan, masa jabatan Hessy Hazniah Tamim, S.H. sebagai Ketua Umum DPC Perbasi Malang akan berakhir. Namun semangatnya tak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Ia telah menanam nilai, bukan sekadar prestasi. Ia telah membuat basket menjadi rumah, bukan hanya arena pertandingan.
“Basket itu proses,” katanya menutup percakapan.
“Di lapangan, anak-anak belajar tentang perjuangan—untuk menang, untuk sukses, untuk menjadi manusia yang lebih baik.” XPOSEINDONESIA/NS Foto : Dok. Pribadi



