
BRI Jazz Gunung Series 2 Bromo resmi dibuka di Jiwa Jawa Resort Amphitheater dengan penampilan pembuka dari band Lorjhu’. Grup asal Sumenep, Madura ini tampil sejak pukul 15.00 WIB dan langsung menyedot perhatian lewat musik rock berbahasa daerah yang penuh energi.
Dengan mengenakan sarung, odheng, dan peci tinggi khas Madura, mereka menyatukan budaya lokal dan energi panggung rock modern. Penampilan dibuka dengan intro yang langsung dilanjutkan ke lagu “Nemor”—karya penuh ironi tentang kemarau panjang yang justru dianggap sebagai berkah di tanah Madura. Lagu ini berasal dari album Paseser (2022), dan langsung menyulut reaksi antusias dari penonton yang hadir dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara.
Setelahnya, Lorjhu’ membawakan sederet lagu penuh nuansa pesisir dan kontemplasi budaya seperti “Lakonah Oreng Manceng”, “Kembang Koning”, “Jhajhan No’Mano’An”, “Parenduan”, “Abhantal Ombak”, hingga “Can Macanan”. Meski tanpa nuansa harmoni jazz klasik, penampilan mereka justru menggambarkan roh jazz yang paling esensial: kebebasan, improvisasi, dan kejutan. Mereka tidak mengubah aransemen menjadi “lebih nge-jazz”, karena yakin karakter musik mereka cukup kuat untuk berdiri sendiri.



“Tadinya saya sempat ragu, apa harus aransemen ulang biar cocok. Tapi setelah lihat line-up tahun-tahun sebelumnya, saya yakin kita tetap bisa tampil dengan jujur,” ujar Badrus Zeman, vokalis Lorjhu’ yang juga dikenal sebagai seniman visual dan pengajar.
Lorjhu’ mengakui penampilan di Jazz Gunung 2025 adalah momen yang paling memacu adrenalin. Bukan hanya karena tampil di panggung besar, tapi karena mereka ingin tampil maksimal di hadapan penonton festival yang cenderung terbuka namun juga kritis. “Ini event yang paling sering bikin kita latihan. Karena kita sadar ditonton oleh audiens jazz—yang sangat beragam dan kadang unpredictable,” tambah Badrus.
Namun latihan dan persiapan itu terbayar lunas. Penonton terlihat terhibur, banyak yang mengabadikan momen, bahkan ikut berteriak ketika bagian-bagian klimaks lagu dibawakan. Sebuah momen langka: band rock berbahasa daerah membakar panggung festival jazz di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.
Jazz Gunung selama ini dikenal sebagai panggung yang merayakan keberagaman musikal. Tahun ini, festival benar-benar menegaskan kembali misinya. Menurut penggagas Jazz Gunung, Sigit Pramono, kehadiran Lorjhu’ adalah simbol bahwa musik etnik dan kontemporer bisa berjalan seiring.
“Jazz Gunung bukan ruang untuk musik yang seragam dan aman-aman saja. Ini adalah panggung kebebasan berekspresi. Dan Lorjhu’ datang membawa semangat itu—liar, jujur, dan penuh identitas,” ujar Sigit Pramono.
Selain Lorjhu’, panggung BRI Jazz Gunung Series 2 Bromo juga dimeriahkan oleh deretan penampil lintas genre seperti Monita Tahalea dengan konser puitisnya, Bintang Indrianto Trio, Natasya Elvira feat. Bromo Jazz Camp, Tohpati Ethnomission, band asal Prancis Rouge, dan penutup dari Sal Priadi. Namun jelas, Lorjhu’ telah mencuri perhatian sebagai band pembuka yang tidak biasa—bukan hanya membuka panggung, tapi membuka paradigma baru tentang festival musik di Indonesia. XPOSEINDONESIA/IHSAN