Selasa, September 16, 2025

Benarkah Guruh Sukarnoputra, Keenan Nasution dan Abadi Soesman. Akan tampil lagi?

Memang tersisa hanya 3 saja, original membersnya. Guruh Sukarnoputra, penulis lagu juga syair dan gamelan selain piano. Keenan Nasution, vokal utama dan drummer. Lalu Abadi Soesman, keyboardis.

Dan yang sudah pergi mendahului kita semua, kembali ke pencipta, ada Chrisye (bass). Lalu Roni Harahap (piano/keyboard). Dan, gitaris, Odink Nasution. Ketika satu persatu pergi, baik Keenan maupun Guruh bisa dibilang, tak lagi berpengharapan bahwa satu ketika grup mereka bisa bermain lagi. Bisa tampil sepanggung lagi.

Tampil lagi? Memang manggung terakhir mereka kapan? Seinget Keenan maupun Abadi, adalah pada pergelaran Guruh Sukarnoputra dan Swara Maharddhika di tahun 1979. Itupun, tambah Keenan, mereka hanya memainkan 2 lagu saja. Salah satu lagu lain, malah, “Zamrud Khatulistiwa”.  Inilah cerita tentang grup musik fenomenal justru baru di zaman sekarang, yang baru “nyaring bunyi”nya saat ini, puluhan tahun kemudian. Guruh Gypsi namanya.

Rock Progresif dan World Music

Jadi Guruh Gypsi, muncul lewat rilis sebuah album kaset. Album tersebut dikerjakan mulai sekitar Juli 1975 hingga November 1976. Maka sejatinya, album Guruh Gypsi sudah berusia tepat 50 tahun, di tahun 2025 ini. Semua proses rekaman dilakukan di Tri Angkasa studio, dengan juru rekam saat itu adalah, Alex Kumara.

Ada beberapa musisi, juga penyanyi, yang terlibat ikut mendukung rekaman ini. Antara lain ada kakak beradik Rugun dan Bornok Hutauruk, sebagai “choir”. Lalu Gauri Nasution sebagai gitaris (almarhum Gauri adalah abang dari Keenan Nasution). Lalu ada Trisuci Kamal, sebagai pianis klasik, yang turut membantu aransemen. Selain itu ada chamber yang terdiri dari Suryati Supilin, Fauzan, Seno (violin), Sudarmadi (cello), Amir Katamsi (double bass), Suparlan (flute), Yudianto (Oboe dan Klarinet).

Bertindak sebagai penyandang dana adalah Pontjo Sutowo. Sedangkan grafis design, misal logo dari Guruh Gypsi, dibuat oleh Ayik Soegeng. Dan ada nama penting lain yaitu, I Gusti Kompiang Raka dengan gamelan Saraswati-nya. Gamelan ini bisa dibilang mengisi di semua lagu dan membuat bentuk musik keseluruhan dari Guruh Gypsi memang kental dengan suasana musik Bali, selain sedikit selipan Jawa.

Dan ketika dirilis, Guruh Gypsi cukup merampas perhatian publik.  Paling tidak, dibahas mendalam media-media, terutama media musik di saat itu. Walau serunya, di saat itu, penjualan album terbilang biasa-biasa saja. Menurut Keenan Nasution dan Abadi Soesman, banyak orang mengaku “pusing” dengar lagu-lagu album Guruh Gypsi.

Musiknya bersuasana Rock Progresif, yang disandingkan dengan musik etnik Bali, walau saat itu bukan yang pertama kali beredar. Tapi tetap terasa “asing” dan “baru”. Tentu saja, bukan warna yang pop. Tak heran, penjualan album tidak bisa dibilang menggembirakan.

Tapi ternyata Guruh Gypsi, dengan “hanya” 6 komposisi yang dibawakan dalam albumnya, lantas menjadi album monumental. Walau “reward” tersebut di dapat puluhan tahun kemudian. Dianggap sebagai album penting, tonggak kemunculan “Indonesian-Progressive Rock”.

Sembari menjadi contoh konkrit apa yang disebut sebagai World Music, era awal waktu itu. Selain disebut album “anti-kemapanan” dan “ikon” perlawanan seniman dalam situasi sosial politik dan kebudayaan di masa itu, yang masuk fase mengkhawatirkan.

Album Guruh Gypsi memberi sebuah semangat baru, termasuk inspirasi baru, yang lebih menggairahkan musik Indonesia. Walau bukan yang pertama “membunyikan” kolaborasi musik barat dan timur. Sebelumnya ada Harry Roesli dengan Ken Arok, misalnya, yang beredar di tahun 1974. Berdekatan dengan Guruh Gypsi ada album Barong’s Band nya Erros Djarot, yang digarap di Jerman.

Yang sempat juga “mengguncang” musik rock Indonesia ada, komposer dan kibordis Jerman, Eberhard Schoener. Dimana Schoener berkolaborasi dengan musisi etnik Bali, Anak Agung Raka. Kolaborasi tersebut menghasilkan album Bali Agung, dirilis 1975. Hasil pengembaraan intens Schoener, dengan sekian bulan tinggal di daerah Ubud, Bali.

Kalau pendekatan Schoener lebih ke warna electronica, mengedepankan synthesizers, maka Guruh Gypsi lebih menonjolkan aksentuasi rock. Itu yang membedakan. Selain kolaboratornya, dimana Agung Raka memang tinggal di Bali. Sementara Kompiang Raka, bermukim di Jakarta dan sejak 1967 sudah mendirikan Gamelan Saraswati.

Monumental, Dari Langit, Anak Band

Gini ya, Guruh Gypsi memang satu kasus unik. Album ini muatan musiknya memang relatif “berat”. Ketika ditanyakan pada Guruh Sukarnoputra, inspirasinya datang dari mana, Guruh tertawa. Jawabannya, “Aku gak tahu juga kenapa bisa begitu. Inspirasi seperti turun dari langit saja”. Sudah begitu saja.

Lantas diapun menulis lagu. Guruh dan Keenan kemudian membahas, menggodok bersama lagu demi lagu. Jadi Keenan dengan Gypsi Band-nya, saat itu memang sudah lumayan eksis. Mereka antara lain juga sempat bermain regular di New York. Dimana di New York, mereka terbiasa mendengar macam-macam lagu, terutama rock. Juga menonton konser.

Saat itu, kenang Abadi Soesman, mereka juga menyimak bermacam musik sebenarnya. Tapi mereka sempat tergelitik ketika mendengar ada Ray Manzarek, kibordis dan pendiri The Doors, menyajikan lagu bernuansa etnik. Wah, itu warnanya kok etnik Indonesia, masak kita ketinggalan? Dari saat itulah dirinya, Keenan dan Chrisye kemudian berkeinginan mencoba membuat komposisi bernuansa etnik Indonesia.

Kebetulan, ketemu Guruh yang baru pulang dari studinya di Belanda, dan dengan niat yang sama. Guruh dan Keenan sudah berteman lama, sejak masa sekolah dasar di Perguruan Cikini. Guruh dan keluarga Sukarno, putra-putri memang bersekolah juga di Perguruan Cikini, sama seperti Keenan dan keluarga Nasution.

Dan menyoal tentang musiknya Guruh Gypsi, Keenan mengatakan, ya mereka emang “anak band”. Membuat musik ya yang pengen mereka mainkan saja. “Jadinya, lihat ya lagu Indonesia Maharddhika, durasinya 15 menitan. Panjang banget, dengarin lagu itu bisa sambil ngabisin kopi secangkir dan makan pisang goreng kayaknya…”.

Itulah, anak band. Tambah Keenan, “Ga terlalu terpikir tentang, nanti gimana menjualnya? Lagu-lagu berat dan panjang itu, orang-orang suka ga ya. Ga berhitung sejauh itu. Anak bandlah!” Anak Band Menteng banget ya? Keenan dan Abadi tertawa lebar.

Abadi lalu menambahkan, ketika dia diajak bantu Guruh Gypsi. Dia ga tahu lagu apa, pokoknya ya mainkan saja. “Ga terlalu jelas lagu apa yang saya mainkan. Begitu datang, hanya disuruh, elo isi lagu ini deh. Lalu lagu ini juga. Seperti itu.”

Begitulah sekelumit cerita dari nama “gagah”, Guruh Gypsi. Terutama di era terawalnya, menjelang masuk pertengahan 1970-an. Saat sekarang, album Guruh Gypsi (baik versi kaset maupun vinyl yang unofficial), terbilang menjadi album termahal. Dan tetap jadi koleksi wajib punya, untuk para kolektor. XPOSEINDONESIA /dalpati-danta Foto : Muhamad Ihsan & dionMomongan

tiga personil penting yang tersisa
tiga personil penting yang tersisa
kata guruh inspirasinya turun dari langit
kata guruh inspirasinya turun dari langit
abadi soesman keenan nasution dan guruh
abadi soesman keenan nasution dan guruh
pressconf synchronize fest
pressconf synchronize fest

Must Read

Related Articles