Sebagai wujud kepedulian organisasi perfilman yang tergabung dalam “Sapta Tunggal” (PPFI, PARFI, GPBSI, KFT, GASFI, PERFIKI, GASI) ditambah PWI Jaya Seksi Film, serta Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (YPPHUI) telah mengadakan pertemuan (24/10) guna membahas masalah-masalah terkini di bidang perfilman bertempat di Chili Bar, Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan.
Tampak dalam pertemuan tersebut antara lain; H. Deddy Mizwar (Ketum PPFI), Hj. Alicia Djohar (Ketum PARFI), H. Djonny Syafrudin (Ketum GPBSI), Rudy Sanyoto (Ketum GASFI), Acang Sunaryo (Ketua GASI), Indrayanto Kurniawan (Sekjen KFT), Endiarto (PERFIKI), Irish Riswoyo (PWI Jaya Seksi Film), serta beberapa pengurus YPPHUI yang dikomandoi H. Sony PudjiSasono.
Pertemuan tersebut digagas salah satunya untuk persiapan mengadakan ”dialog” dengan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang telah dilantik beberapa hari sebelumnya oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka.
Hasil-hasil pertemuan Sapta Tunggal antara lain:
- Menyambut baik kahadiran Kementerian kebudayaan sebagai Lembaga yang mandiri untuk menangani masalah-masalah kebudayaan, termasuk masalah perfilman didalamnya.
- Perlunya menjaga eksistensi gedung Pusat Pefilman H. Usmar Ismail (PPHUI) sebagai satu-satunya ”situs sejarah” perfilman. Pusat kegiatan perfilman dan organisasi-organisasi perfilman yang oleh Pemerintah pada tahun 2008 telah menetapkan gedung PPHUI — termasuk Sinematek Indonesia di dalamnya sebagai pusat data dan arsip film — sebagai Objek Vital Nasional yang harus dilindungi, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.34/HM.001/MKP/2008.
- Kepemilikan Gedung Film di Jl. MT Haryono Kav. 47 – 48 Jakarta Selatan, saat ini gedung tersebut telah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata. Dahulu namanya Gedung Film, setelah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata, namanya menjadi Gedung Film Pesona Indonesia. Sebenarnya gedung tersebut adalah milik orang film, karena gedung tersebut dibangun dengan biaya dari hasil importasi film di jaman ORBA, ditambah tukar-guling gedung BSF (Badan Sensor Film) yang dulunya terletak di belakang Gedung Sarinah serta Gedung Dewan Film Nasional di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Kini masyarakat perfilman tidak memiliki hak atas gedung tersebut.
- Perlu dibentuk Direktorat Jenderal (khusus) Perfilman yang membawahi beberapa Direktur, seperti Direktur Produksi Film, Direktur Pengembangan SDM, Direktur IPTEK Perfilman, Direktur Pengembangan Pasar dan Promosi Pefilman, Direktur Kebijakan Fiskal dan Perpajakan Film serta Direktur Advokasi dan Perlindungan HAKI Perfilman. Masing-masing Direktur dibantu beberapa Kasubdit dan Kepala Seksi yang mempunyai dana dan SDM memadai serta waktu yang cukup untuk menangani masalah perfilman yang kompleks dan inter-disipliner.
Dengan adanya Kementerian Kebudayaan, akan nampak secercah harapan bagi insan film, baik pelaku kegiatan perfilman maupun para pelaku usaha di bidang perfilman. Karena terbukti selama hampir dua dekade terakhir, masalah perfilman nasional tidak tertangani secara maksimal. Beberapa hal seperti kurangnya alokasi dana dari Pemerintah, SDM pada birokrasi yang kurang memadai kemampuannya dalam menangani masalah perfilman nasional yang kian kompleks dan multi-disipliner. Sehingga kedudukan Direktur Film yang digabung bersama Musik dan Media baru, praktis masalah perfilman hanya fokus ditangani oleh pejabat birokrasi setingkat Kepala Sub Direktorat (Eselon III).
Film selain berfungsi sebagai ”benteng budaya” Bangsa, kompleksitas perfilman juga mencakup unsur multi-disipliner seperti; Produksi film (ekonomi perusahaan), pengembangan SDM film (pendidikan kejuruan), pengembangan Jasa Teknik Perfilman (IPTEK), pengembangan pasar/promosi film (marketing dan periklanan), kebijakan fiskal dan Pajak Perfilman (Mikro Ekonomi), Advokasi dan penegakan HAKI (Hukum), dan lain sebagainya.