Kamis, Mei 8, 2025

Reportase dari Belanda: Sarasehan Diaspora Indonesia Membangun Relasi Kerja Bermartabat dan Welas Asih

MERAYAKAN Hari Buruh sedunia, pada tanggal 03 Mei 2025, di suatu tempat bernama Levend Waterkerk di kota Almere yang cerah, sebuah peristiwa bersejarah digelar oleh pelbagai komunitas orang Indonesia yang bermukim di Belanda. Kegiatan itu berfokus pada tema utama bagaimana sesama warga Indonesia di Belanda dapat membangun relasi bekerja yang bermartabat dan welas asih melampaui nalar legal dan illegal.

Peristiwa itu berwujud sarasehan yang bertujuan mempertemukan parapihak dari pelbagai profesi kelas pekerja untuk saling mendengar, membangun kesepahaman dan pada gilirannya membangun solidaritas dan merumuskan tindak lanjut sarasehan. Acara sarasehan itu sendiri dimulai sejak pukul sembilan pagi dan bertahan hingga pukul 4 sore melibatkan 80-an peserta yang hadir dari pelbagai komunitas.

Komunitas yang terlibat meliputi Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) di Belanda, Tombo Ati dan Pawon. Ketiga komunitas ini menaungi terutama kepentingan pekerja migran Indonesia yang tidak berdokumen di Belanda. Selain itu ada unsur perwakilan dari Au Pair, asosiasi perawat, asosiasi pekerja seni dan budaya, asosiasi pengusaha Indonesia di Belanda bernama ASPINA terutama dari sektor jasa resto dan warung makan.

Ada pula Lingkar Interaksi Indonesia Belanda (LIIB), sebuah paguyuban yang sering mempertemukan diaspora Indonesia dan pelajar di dalam kegiatan kebudayaan bersifat bulanan. Dari LSM Belanda yang berfokus menyediakan layanan migran turut hadir Fairwork, VluchtelingenWerk, dan Wereldhuis.

Unsur KBRI Den Haag diwakili Protokol Konsuler yang terlibat di dalam diskusi sampai akhir acara untuk mendengar, mencatat dan merespons masukan dan keluhan dan ada pula unsur pelajar terdiri dari pribadi-pribadi yang berafiliasi dengan PPI Belanda, PCINU Belanda diwakili unsur pribadi dari Lesbumi dan pribadi dari PCIM Muhammadiyah Belanda. Para pelajar ini terlihat berperan sebagai panitia dan fasilitator acara.

Format acara dibuat menyerupai huruf U terdiri dari kursi-kursi dimana para perwakilan komunitas secara bergantian diberi kesempatan untuk menjelaskan siapa mereka dan apa tantangan yang mereka hadapi. Acara sarasehan itu pula diramaikan oleh seniman Indonesia yang ada di Belanda melalui pementasan tari, puisi dan nyanyian.

Hidup Terhimpit Makin Keras

Sarasehan itu secara keseluruhan menghasilan banyak catatan yang disampaikan oleh pelbagai unsur komunitas. Tantangan sekaligus aspirasi penting contohnya dari pekerja migran tak berdokumen Indonesia di Belanda yang umumnya bekerja di sektor jasa kebersihan kantor dan rumah. Mereka menyuarakan betapa hidup mereka terhimpit semakin keras oleh kebijakan pemerintah melalui PermenKumham No 19 Tahun 2024.

Regulasi itu salah satunya mengatur untuk tidak lagi memberikan perpanjangan paspor bagi warga Indonesia di luar negeri yang tidak memiliki izin tinggal di negara tempat bermukim. Mereka hanya akan disediakan surat keterangan (SPLP) dengan tujuan surat itu dikeluarkan sebagai keterangan agar mereka yang tidak memiliki izin tinggal dapat segera pulang ke Indonesia.

Setelah September 2024, menurut Nana Supriatna, Koordinator Tombo Ati dan Muhammad Taufik Hidayat, Ketua Pawon, hidup mereka, para pekerja migran tak berdokumen berubah drastis. Mereka tidak dapat lagi memperpanjang paspor. Paspor menurut ungkapan mereka adalah nyawa mereka. Tanpa paspor mereka mendapat kendala nyata untuk mengakses layanan kesehatan seperti huisarts (Puskesmas) dan rumah sakit di Belanda.

Sebagaimana umumnya mereka yang tinggal di Belanda wajib memiliki huisarts rujukan sebelum mereka dirujuk ke rumah sakit. Menurut keterangan Nana, jika sebelumnya mereka yang tidak berdokumen masih dapat mengakses huisarts dan rumah sakit (jika perlu perawatan lebih serius) hanya dengan memperlihatkan paspor, kini mereka menemukan banyak huisarts dan rumah sakit terutama sejumlah kasus di kota Den Haag yang menolak mereka karena mereka tidak dapat menyediakan paspor atau karena hanya menyediakan parpor kadaluarsa.

Mereka yang tadinya bisa mendapatkan perawatan lanjutan untuk penyakit berat terpaksa harus pulang ke Indonesia padahal sebelumnya dengan berbekal paspor saja mereka dapat menikmati perawatan lanjutan relatif murah bahkan gratis karena pemerintah Belanda menyediakan anggaran untuk tipe penduduk seperti mereka. Selain kenyataan bahwa hak kesehatan secara prinsip tidak dapat dikurangi apalagi ditiadakan (non-derogable right) kepada siapapun yang membutuhkan akses kesehatan. Namun kebijakan penghentian perpanjangan paspor menurut mereka telah merenggut hak dasar itu dari mereka.

Mereka mengaku juga kesulitan membuka rekening di bank Indonesia yang ada di Belanda seperti Bank BNI tanpa paspor padahal mereka bertahan sebagai pekerja migran tak berdokumen di Belanda untuk dapat terus mengirim uang secara rutin kepada keluarga mereka di Indonesia dan bahwa merekalah penyumbang uang (remittance) dan devisa terbesar kedua di Indonesia. Akhirnya dengan terpaksa mereka harus menggunakan jasa agen perorangan dengan biaya dan kurs yang lebih berat dan merugikan mereka.

Melalui forum sarasehan itu, mereka mengusulkan untuk mempersoalkan kebijakan dan regulasi PermenKumham No 19 Tahun 2024 itu dan hendak menggalang dukungan dari pekerja migran Indonesia tak berdokumen dari sejumlah negara lain. Mereka berencana akan membuat petisi, melayangkan surat protes berisi konsiderans dan dampak nyata yang mereka alami dari kebijakan paspor itu kepada sejumlah Kementerian dan lembaga terkait seperi Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Kemenkumham, Kemenlu, DPR, Komnas Ham dan Ombudsman serta bekerjasama dengan LSM yang relevan seperti Migrant Care dan YLBHI. 

Suara lain yang penting dari sarasehan itu diutarakan oleh Ajeng, seorang dari program Au Pair. Ajeng menceritakan kisah Au Pair di Belanda rupanya tidak selalu berisi kisah menyenangkan tentang sinar matahari dan pelangi. Kisah Ajeng sendiri diselimuti langit mendung dan kelam. Au Pair yang berasal dari bahasa Perancis yang berarti balas jasa adalah program bagi anak muda umumnya usia 18 hingga 30 tahun yang ingin memperdalam kemampuan berbahasa asing dan budaya di negara yang dituju. Peserta Au Pair akan ditampung oleh host family yang jugaakan menanggung biaya hidup selama peserta tinggal termasuk menyediakan kamar, makan dan biaya untuk mengikuti sekolah bahasa serta uang saku bulanan bahkan hak untuk berlibur.

Sebagai timbal balik, peserta Au Pair biasanya diminta berperan sebagai kakak; mengantar dan menjemput sekolah; menyiapkan bekal makanan bagi anak-anak yang dimiliki host family dan bekerja maksimal 8 jam sehari (Senin-Jumat).

Namun di dalam kisah Ajeng, dia mengutarakan peran sebagai penjaga telah berubah menjadi nanny bahkan pembantu rumah tangga. Dia harus bekerja dari jam enam pagi hingga 8 malam bahkan lebih, dengan perlakuan yang menurutnya sangat merendahkan. Ajeng mengungkapkan perasaannya di sarasehan itu agar ada perbaikan tata kelola Au Pair antara pemerintah Belanda dan Indonesia yang dapat menjamin hak-hak peserta Au Pair lebih jelas dan tidak disalahgunakan sebagai cara mencari tenaga kerja domestik yang murah.

Penghentian Sementara Perawat

Aspirasi dari asosiasi perawat Indonesia di Belanda disampaikan oleh Ahmad Sapoan. Menurutnya ada sekitar 200-300 perawat aktif yang ada di Belanda. Namun saat ini terjadi kondisi penghentian pengiriman perawat dikarenakan ada gerakan protes di media Belanda dari unsur perawat yang kemudian membuat kesepahaman yang telah susah payah dibangun untuk sementara dihentikan.

Sementara itu kondisi paling terakhir dari perawat adalah adanya penipuan tenaga kesehatan perawat yang dikirim ke Belanda dan lembaga pendidikan yang menampung dan mensponsori perawat Indonesia di Belanda dianggap pihak imigrasi Belanda tidak legal dan peserta akan dicabut izin tinggalnya pada bulan Juli mendatang.  Sapo meminta tata kelola di level pemerintah harus lebih diperbaiki agar generasi perawat Indonesia yang sudah bekerja di Belanda selama hampir tiga dasawarsa lebih dapat terus berkembang karena profesi perawat sangat dibutuhkan di Belanda.

Syafiih Kamil dari ASPINA, serta Heri Kurniawan dan Didin Fachrudin, perwakilan dari pengusaha menceritakan profil ASPINA yaitu asosiasi pengusaha Indonesia di Belanda dan data bahwa sudah ada 450-an rumah makan Indonesia di Belanda serta seluk-beluk usaha rumah makan Indonesia di Belanda. Didin Fachruddin menekankan tantangan pengusaha rumah makan Indonesia di Belanda masih berkutat soal regulasi ketenagakerjaan dan pajak, legalitas dokumen dan kontrak kerja serta pelatihan dan adaptasi budaya kerja. Selama ini agak susah bagi pemilik warung mendapatkan tenaga kerja pemasak Indonesia yang bagus melalui jalur legal karena kendala regulasi dan pajak yang sangat tinggi.

Ada dua poin penting dari ketiga orang itu yang diutarakan di sarasehan. Mereka menekankan hubungan diaspora Indonesia di dalam sektor bisnis yang dianggap masih renggang, belum kompak dan belum saling membantu. Kedua, khususnya Heri Kurniawan menyampaikan perlu ada hubungan kerja antara majikan pemilik warung dengan pekerjanya dari Indonesia yang lebih baik. Dia menyinggung kasus hukum pidana yang terjadi dua tahun lalu yang melibatkan pemilik warung Indonesia dengan pekerjanya yang juga orang Indonesia di pengadilan Belanda.

Heri menyesalkan kasus hukum itu harus terjadi karena jelas kasus itu memukul dan membuat trauma kedua belah pihak baik baik pengusaha dan pekerja. Dia mengusulkan tidak ada lagi sesama orang Indonesia yang saling merugikan. Dia berharap forum sarasehan menjadi forum koordinasi antara pekerja dan pemberi kerja untuk bisa duduk bersama dan menempuh jalur mediasi jika terjadi perselisihan hubungan kerja atau sebagai forum untuk terus membangun hubungan kerja yang lebih baik.

Di ujung sesi, keseluruhan peserta sepakat bahwa sarasehan akan menjadi forum bersama yang rutin akan mereka lakukan setiap enam bulan sekali untuk terus menjawab kebutuhan dan tantangan pekerja dan pengusaha. Misalnya forum sarasehan itu melihat urgensi perlunya bagi mereka mengusahakan dibangunnya shelter sebagai tempat perlindungan bagi pekerja yang mengalami krisis dan kerentanan di dalam relasi bekerja. Lalu perlunya pusat pelatihan bahasa bagi para pekerja untuk meningkat kemampuan bahasa dan sertifikasi bahasa sebagai daya tawar yang penting untuk membangun karir bekerja di Belanda. 

Menurut keterangan panitia seluruh kegiatan sarasehan tersebut dilakukan sukarela dan gotong royong oleh diaspora Indonesia yang ada di Belanda. Sarasehan itu telah diperam ideanya dan dipersiapkan selama dua bulan lebih melalui serangkaian pertemuan-pertemuan persiapan. Di dalam persiapan hingga puncak sarasehan tersebut semua unsur komunitas terlibat mewujudkan sarasehan tersebut sebagai hajatan kolektif milik mereka bersama.  Teks dan Foto Hertasning Ichlas

komunitas yang terlibat meliputi indonesian migrant workers union (imwu) di belanda, tombo ati dan pawon
komunitas yang terlibat meliputi indonesian migrant workers union (imwu) di belanda, tombo ati dan pawon
sarasehan yang bertujuan mempertemukan parapihak dari pelbagai profesi kelas pekerja
sarasehan yang bertujuan mempertemukan parapihak dari pelbagai profesi kelas pekerja
pelbagai komunitas orang indonesia yang bermukim di belanda
pelbagai komunitas orang indonesia yang bermukim di belanda

Must Read

Related Articles