“Belum lagi ongkos transport dari rumah saya di Parung ke mari. Biasanya kalau pagi, saya ikut rombongan diantar truk. Bayarnya Rp 15.000 per orang. Pulangnya baru naik metro mini. Perlu dua kali naik angkutan untuk sampai ke rumah!”,” ungkap Namud yang tinggal bersama anak lelakinya yang semata wayang dan sudah berkeluarga.
Setiap habis kerja, Namud tak pernah pasti memperoleh hasil untuk dibawa pulang. “Kadang ada lebih, kadang cuma cukup balik modal. Namanya dagangan, kan tidak bisa selalu ludes,:” ujarnya dengan tetap tertawa. “Tapi, lumayanlah. Hasilnya masih bisa buat bayar arisan di lingkungan. Tiap malam Minggu ngocok dan bayar Rp 20.000!” ujar kakek dua cucu, yang mengaku sudah menduda sejak lima Lebaran lalu.
Namud menyebut dirinya harus terus bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Dan entah sampai kapan ini akan berakhir. Nggak niat pensiun? “Wah….Kalau nggak kerja, mau makan dari mana? Mantu saya aja kerja di konfeksi! Masak saya diem di rumah! Malu ah sama mantu!” ungkapnya lagi sambil masih bisa terkekeh. Terdengar pahit di telinga. Namun di wajah tuanya yang penuh kerutan tergambar keikhlasan total dalam menjalani garis nasib… (Nini Sunny Foto : Dudut Suhendra Putra)