Namanya Namud. Orang kerap memanggilnya dengan sebutan Aki. Ia mengaku berumur 80 tahun, namun  tak ingat  kapan tanggal lahirnya. Ia terlihat semakin renta, karena tak menggunakan gigi palsu. Ia  mengaku buta huruf,  namun bisa mengaji dan rajin mengerjakan sholat lima waktu, bahkan masih kuat menjalani puasa di Ramadan kemarin. 

Setiap Selasa, Kamis, Sabtu dan Minggu, In Shaa Allah,  Anda bisa melihatnya berdagang di Pasar Mayestik dari pukul 08.00 WIB – 16.00 WIB. Ia selalu bekerja di bawah  matahari, di antara celah mobil parkir di depan toko kain Mumbay.  Kadang, sesekali ia memakai payung besar untuk menutup  kepala dan tubuhnya.

Jenis dagangannya  tergolong unik. Segala macam makanan rebusan. Ada  Kacang Kulit, Kacang Bogor, Ganyong (sejenis umbi  berasa manis) dan Kentang Hitam. Namud menata  dagangan di atas  keranjang  bambu  beralas  daun pisang,  lantas si keranjang diletakan di atas aspal. Namud menjual dagangannya dengan menggunakan takaran dari potongan bambu. Semua jenis makanan dihargai Rp 5.000,- /takaran

Namud mengaku berdagang begini sejak tahun 1975.  “Dulu, dagang di Blok M, dekat Aldiron. Ketika Aldiron dibangun, saya tergusur dan  pindah ke Mayestik!” ungkapnya sambil  terus melayani pembeli.  Awalnya,  Namud  berdagang di  dekat pintu utama Pasar Mayestik.  Bertahun-tahun ia setia di situ. Ketika pasar Mayestik berbendah diri dua tahun lalu, dengan kesadaran sendiri  ia pindah lokasi ke bagian belakang, tepatnya di pintu masuk Jalan Tebah. 

Meski usianya  merangkak makin lanjut, Namud  terus gigih menjemput  rejeki. Setiap kali berangkat kerja, ia perlu modal membeli barang dagangan dari agen. “Paling nggak, saya harus punya modal Rp 200 ribu. Buat  beli kacang rebus, minimal 10 kilo. Satu kilo pan dua belas rebu. Terus harus beli Ganyong dan lain-lain itu, ” Namud menjelaskan. 

1
2
Prev NewsNOAH : “6.903 Mil” yang Bersejarah & Tak Terlupakan
Last NewasBalinale International Film Festival 2013