Menonton “Generasi 90an Melankolia” terasa memenatkan. Ini bukan sekadar karena karena urutan peristiwa yang digambarkan terasa hambar, tapi juga karena berbagai karakter di situ lebih banyak ditampilkan lewat amarah, tangis, keputusasaan dan kemurungan yang berkepanjangan.
Film ini hanya berputar-putar pada emosi tersebut dan hanya menggambarkan gelora kebahagiaan di bagian awal film. Akhrinya, film ini memperlihatan parade depresi yang sulit berhenti, dan penuh tangisan “artistik”.
Apa yang tersaji dalam “Generasi 90an Melankolia“ sesungguhnya agak mengejutkan.
Terutama karena film ini diproduksi oleh Visinema Pictures, dan diproduseri diproduseri Angga Dwimas Sasongko. Nama ini terlanjur dikenal sebagai perusahaan film yang memproduksi film cerita sederhana, namun tersaji sangat berkelas.
Kita pernah simak kekuatan film “Filosi Kopi”, yang membahas pergolakan idealisme antara sahabat.
Kita juga pernah menemukan indahnya “Love for Sale” tentang mengatasi kesendirian.
Atau tengok pada film sangat terkenal “Keluarga Cemara”, yang diadaptasi ulang dari sinetron di masa lalu. yang memperlihatkan tentang hidup dalam kemiskinan, namun menjadi film sederhana dan luar biasa memikat ketika diproduksi di tangan Visinema.
Beda dari Produksi Visinema
Film drama “Generasi 90an Melankolia” memperlihatkan debut penyutradaraan dari Mohammad Irfan Ramli ini, diadaptasi dari novel Generasi 90an milik Marchella FP.
Menampilkan sejumlah nama besar seperti Ari Irham, Aghniny Haque, Taskya Namya, dan Jennifer Coppen. Selain itu, ada beberapa nama senior, seperti Gunawan Sudrajat, Fracois Mohede, Amaranggana, dan Marcella Zalianty.
Film ini berkisah mengenai Abby, seorang anak bungsu dengan keluarga yang menyenangkan, salah satunya berkat kehadiran Indah, sang kakak.
Namun, kehidupan mendadak berubah kelam, setelah pesawat yang ditumpangi Indah kandas di tengah laut, tanpa meninggalkan jejak tubuh Indah.
Abby kemudian mencari pelarian pada Sephia, sahabat dari kakak tersayangnya.