Pajak Tontonan (PTo) yang besar ( berkisar 10-20 persen), yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) akan menghambat pertumbuhan bioskop di dalam negeri. Dikhawatirkan kenyataan tersebut bisa memukul industri film nasional juga. Pengusaha bioskop di Tanah Air keberatan dengan penetapan pajak pertunjukan film yang berbeda di tiap daerah. Hal ini disebabkan karena Pemda melalui undang-undang Otonomi Daerah mengatur sendiri nilai pajak yang ditetapkan.
Begitu kesimpulan percakapan Djonny Syafrudin, SH Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) dan Direktur Operasional Grup Twenty One (XXI) Jimmy Haryanto di tengah acara halal bihalal bersama beberapa wartawan film di Tekko, Plaza Festival, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2019).
Oleh karenanya GPBSI meminta agar produser film nasional sama-sama memperjuangkan keringanan PTo yang dikenakan oleh pemerintah daerah.
Menurut Djonny, selama ini banyak Pemda yang menerapkan PTo berdasarkan pajak hiburan, sehingga nilainya cukup besar. PTo disamakan dengan pajak karaoke, diskotik, panti pijat atau tempat-tempat hiburan lainnya. Padahal film yang ditayangkan bioskop tidak semata-mata berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga memiliki fungsi komunikasi dan pendidikan.
“Memang tidak salah juga Pemdanya, karena ketika pajak hiburan ditetapkan, bioskop belum ada di daerahnya. Tetapi ketika ada bioskop, seharusnya Pemda juga membuat klasifikasi. Jadi jangan semata-mata dilihat untuk kepentingan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi berdirinya bioskop di sebuah daerah, akan memiliki dampak yang sangat besar bagi daerah itu sendiri,” ungkap Djonny
Kebijakan penerapan pajak secara otonomi ini justru bisa menurunkan minat masyarakat daerah untuk menonton film dengan harga terjangkau. Djonny juga berharap besaran pajak bioskop ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga tidak berbeda-beda di setiap daerah.
Direktur Operasional Grup 21, Jimmy Haryanto menjelaskan besarnya pajak bioskop antara satu daerah dengan daerah lain terasa janggal. Ada bioskop yang jaraknya berdekatan, tetapi pajaknya berbeda jauh. Ia mencontohkan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Di Kota Bekasi pajaknya 10 %, tetapi di Kabupaten Bekasi, 30 %. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Begitu juga antara Cirebon dan Plered yang jaraknya berdekatan. Di Cirebon 10 % di Plered 25 %.