“Untuk menjadi bagian kerja dari sebuah film, misalnya. Ini jelas tidak mudah. Apakah kita perlu mendatangi produser satu persatu dan menawarkan diri, atau kita perlu tahu produksi film yang akan berjalan, dan kemudian baru mendatangi mereka satu persatu,” kata Marthella setengah bertanya.
Dari floor diskusi, salah satu peserta bernama Rully Sofyan memberi usulan, bahwa, yang paling mudah dan cepat dijangkau untuk melibatkan sahabat Disabilitas di seluruh Indonesia dengan film adalah menempatkan mereka sebagai tenaga kerja di gedung bioskop. “Bisa sebagai bagian tiket, atau apapun,” katanya.
Mendengar usul tersebut, Marthella langsung menangkap ide cemerlang itu. “Sebuah bioskop yang mempekerjakan sahabat Disabilitas, mestinya bukan pekerjaan yang sulit. Mungkin ini bisa jadi masukan bagi kementerian Pariwisata untuk bisa melakukan itu, dengan jalan bisa memberikan surat edaran kepada pemilik bioskop, misalnya,” tutur Marthela
Pemberdayaan Disabilitas Lewat Workshop
Budi Sumarno, Pendiri KCFI sekaligus Founder Inklusi Film Indonesia yang tampil dalam sesi kedua diskusi mengatakan, sahabat Disabilitas memang memiliki minat yang sama besar seperti orang-orang dengan fisik normal, untuk memasuki sekaligus berperan di dunia film.
“Peran mereka dalam film pun, tidak semata untuk menjadi artis yang muncul di layar, namun juga bekerja di belakang layar, menjadi scriptwriter, management production, film director, cameraman, art director, sound recordist, music scooring, dubber, editor, graphic designer dan lain-lain,” kata Budi.
Menurut Budi, Inklusi Film yang dibentuknya, merupakan sebuah kegiatan sosial dalam upaya pemberdayaan masyarakat Disabilitas yang ingin menyalurkan, mengapresiasikan serta mengembangkan minat mereka di bidang perfilman dalam bentuk Workshop Film.
Budi sendiri melalui KCFI dan Yayasan Pusat Perfilman Usmar Ismail, pada September 2018 lalu dengan penuh semangat menyelenggarakan workshop inklusi film untuk sahabat Disabilitas.