Ada yang patut disayangkan dengan keadaan Indonesia pada saat ini. Seiring waktu yang berjalan, tanpa terasa keberadaan Indonesia sebagai penghasil teh makin lama makin menurun pamornya dimata dunia, menyusul terus menurunnya produksi teh saat ini.
Lewat data yang tercatat, sejak tahun 1998 hingga 2008 kemarin saja produksi teh dari Indonesia terus menurut dari 150 ribu ton menjadi 120 ribu ton per tahun. Apalagi ditambah dengan minimnya lahan kebun teh yang tersisa hanya sekitar 135 ribu hektar di seluruh Indonesia.
āKecilnya dukungan pemerintah terhadap keadaan ini, sepertinya menjadi salah satu pemicu menurunnya produksi petani teh Indonesia. Rendahnya harga jual di pasar dunia, makin memperkecil lahan perkebunan teh, karena telah banyak beralih fungsiā, ungkap Rachmat Badruddin selaku Chairman Indonesia Tea Board baru-baru ini di sebuah lokasi di Jakarta Selatan.
Ditambahkannya lagi di pasar duniapun keberadaan Indonesia sebagai negara penghasil teh anjlok dari peringkat ke 4 menjadi peringkat ke 7. Tertinggal jauh dari Kenya, yang menduduki peringkat pertama dan paling berhasil menjadikan teh sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negaranya.
Untuk mengantisipasi keadaan ini, Indonesia yang duduk sebagai ketua dari Working Group on Tea Smallholders, berhasil mengajukan diri sebagai penyelenggara The 21st Intergovernmental Group on Tea pada 5-7 November 2014 mendatang di Hotel Royal Grand Panghegar, Bandung. Melengkapi acara tahunan ini, Dewan Teh Indonesia sekaligus juga mengadakan Bandung International Tea Convention (BITC) dan Asia Africa Tea Gathering (AATG).
Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk membahas permasalahan yang terjadi di negara produsen teh dunia. Sekaligus bersama-sama membahas bagaimana meningkatkan daya saing teh dengan minuman lainnya. Melalui BITC dan AATG diharapkan dapat dicapai hasil sebuah persatuan global tea industry dalam peningkatan kesejahteraan para tea smallholders di seluruh dunia.