Jumat, Februari 21, 2025

Slamet Gundono Wafat

Kecil Besar

Sabtu, 30 November 2013 menjadi salah satu hari bersejarah  bagi alm. Slamet Gundono. Hari itu, sebagai pedalang,  ia naik panggung Balai Kartini, Jakarta  bersama sembilan orang lainnya,  yang juga menerima penghargaan Anugerah  Kebudayaan Tahun 2013  Kategori Anugerah Seni. Ini adalah ajang penghargaan  yang dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Persis memasuki  panggung,  Gundono bukan langsung berdiri di antara pata penerima  penghargaan lainnya,  ia malah mendatangi pembawa acara Irfan Hakim dan Olga Lidya.  Sambil berbisik, Gundono meminta  sang pembawa acara menganggil isterinya,  Muning Rejeki, untuk mendampinginya  menerima penghargaan di  atas panggung.

“Auw, so sweet…Begitulah  seniman. Selalu romatis,” kata Irfan Hakim sesaat setelah  memanggil Muning. Terlebih, diantara sembilan orang lainnya, hanya Slamet yang berinisiatif memanggil pasangan hidupnya ke atas  panggung.  Untuk sama-sama merayakan  keberhasilan sebagai seniman yang diakui oleh pemerintah

Bisa jadi, itu  merupakan acara terakhir Gundono naik panggung  bersama isterinya dalam acara menerima penghargaan, terlebih dari pemerintah. Karena pada 5 Januari 2014, Slamet  yang berbobot lebih dari 250 kilogram itu meninggal  dunia di RSI Yarsis, Pabelan, Kartasura, pada pukul 08.30, setelah dirawat beberapa hari karena komplikasi berbagai penyakit.  Ia meninggalkan isteri, Muning Rejeki (33) dan dua anak Nandung Abad Slamet Saputra (9) serta Bening Putriaji (3). 

Wayang di Luar Pakem

Gundono lahir dari keluarga dalang di Tegal pada 19 Juni 1966. Nama Slamet ditambahkan oleh guru SD nya. Pada awalnya ia tidak mau meneruskan jejak ayahnya sebagai pedalang, karena dalam dalang tersimpan citra negatif. Terutama soal minuman keras juga main perempuan. Namun, ketika mondok di pesantren di Lebaksiu, rasa tertarik pada wayang semakin menguat dalam diri Gundono.

Setamat pesantren, Gundono melanjutkan pendidikan  ke Jurusan Teater di Institut Kesenian Jakarta. Namun, kemudian pindah Jurusan Pedalangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Surakarta).

Slamet Gundono lulus dari STSI di tahun 1999. Di tahun yang sama, ia mendirikan komunitas Sanggar Wayang Suket dan mengembangkan seni pewayangan, dengan memperkenalkan wayang dari bahan rumput dan menyajikan pertunjukan wayang yang keluar dari pakem yang telah baku.

Soal wayang suket, Gundono telah memulainya sejak tahun 1997 , saat  menyelenggarakan pertunjukan pertama di Riau, Sumatra. Saat itu ia menyuguhkan pertunjukan wayang dari rumput (bahasa Jawa : wayang suket) untuk pertama kali dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”.

Dan judul tersebut memuat arti sangat dalam. Seperti termuat dalam tulisan Endi Aras pada buku “Anugerah Kebudayaan  dan Pengharhaan Mastro Seni Tradisi 2013…  “Sebuah judul yang memiliki arti dalam. Seumpama kita ini memiliki  barang yang sudah rusak sekalipun, kita tidak perah mengurusinya. Tapi begitu barang kita diambil orang, baru kita geger dan meributkannya. Itulah pengertian  judul itu,” imbuh dalang kelahiran Tegal itu dengan logatnya yang masih kental.

Ukulele dan Modernisasi Panggung

Meskipun awalnya banyak diprotes, ia tanpa bisa dicegah menjadi ikon wayang suket. Di luar iu, Gundono dianggap dalang  yang senang melanggar pakem.  Dalam setiap pentas, selain menembang, Gundono  pandai pula memainkan ukulele.

Kreativitasnya mengalir tak terbendung. Konsep panggungnya  pun  tak sungkan memasukan sisi teknologi sebagai bagian dari modernisasi  panggung. Karya macam ini pada akhirnya  menampilan eksperimen yang berbeda  dengan para dalang jaman bahelula. Dan, ia pun layak menyandang sebutan “Ki Dalang”, sebagai mana layaknya Dalang profesional.

Must Read

Related Articles