Sabtu, 30 November 2013 menjadi salah satu hari bersejarah bagi alm. Slamet Gundono. Hari itu, sebagai pedalang, ia naik panggung Balai Kartini, Jakarta bersama sembilan orang lainnya, yang juga menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Tahun 2013 Kategori Anugerah Seni. Ini adalah ajang penghargaan yang dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Persis memasuki panggung, Gundono bukan langsung berdiri di antara pata penerima penghargaan lainnya, ia malah mendatangi pembawa acara Irfan Hakim dan Olga Lidya. Sambil berbisik, Gundono meminta sang pembawa acara menganggil isterinya, Muning Rejeki, untuk mendampinginya menerima penghargaan di atas panggung.
“Auw, so sweet…Begitulah seniman. Selalu romatis,” kata Irfan Hakim sesaat setelah memanggil Muning. Terlebih, diantara sembilan orang lainnya, hanya Slamet yang berinisiatif memanggil pasangan hidupnya ke atas panggung. Untuk sama-sama merayakan keberhasilan sebagai seniman yang diakui oleh pemerintah
Bisa jadi, itu merupakan acara terakhir Gundono naik panggung bersama isterinya dalam acara menerima penghargaan, terlebih dari pemerintah. Karena pada 5 Januari 2014, Slamet yang berbobot lebih dari 250 kilogram itu meninggal dunia di RSI Yarsis, Pabelan, Kartasura, pada pukul 08.30, setelah dirawat beberapa hari karena komplikasi berbagai penyakit. Ia meninggalkan isteri, Muning Rejeki (33) dan dua anak Nandung Abad Slamet Saputra (9) serta Bening Putriaji (3).
Wayang di Luar Pakem
Gundono lahir dari keluarga dalang di Tegal pada 19 Juni 1966. Nama Slamet ditambahkan oleh guru SD nya. Pada awalnya ia tidak mau meneruskan jejak ayahnya sebagai pedalang, karena dalam dalang tersimpan citra negatif. Terutama soal minuman keras juga main perempuan. Namun, ketika mondok di pesantren di Lebaksiu, rasa tertarik pada wayang semakin menguat dalam diri Gundono.