Pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak tinggal diam. Presiden telah berkomitmen
menurunkan angka prevalensi stunting hingga 14% pada 2024. Tapi, penurunannya
sejauh ini berjalan lamban, hanya sekitar 1,6% per tahun.
Puan Maharani karenanya memandang stunting tidak bisa diatasi oleh pemerintah
sendirian. Dibutuhkan kerja sama banyak pihak. “Penanganan stunting tidak bisa
hanya dilakukan pemerintah. Butuh gotong royong dari seluruh pihak dan pemangku
Backdrop Gerakan HaloPuan Melawan Stunting di Tegalangus (19/6).
kepentingan,” kata Puan ketika masih menjadi Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan.
Stunting sendiri, menurut ahli gizi Puskesmas Tegalangus, Delvira Miftahul Jannah,
merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis.
Kondisi ini bisa terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan, atau masa 9 bulan
kehamilan plus 2 tahun menyusui. “Inilah yang disebut periode emas,” kata Delvira
yang tampil memberi penyuluhan dalam acara HaloPuan itu.
Kondisi stunting berdampak pendek sekaligus panjang terhadap anak. Dalam jangka
pendek, balita akan mudah sakit. Tinggi badannya tidak sesuai dengan usia, pendek
atau sangat pendek. Performa kognitifnya juga buruk, seperti perhatian dan memori
belajarnya yang kurang. Setelah dewasa, anak lebih berisiko terkena penyakit yang
berhubungan dengan pola makan, seperti diabetes, gagal ginjal, dan hipertensi.
“Maka itu sangat penting untuk mencegah stunting,” kata Adel, sapaan akrab
Delvira.
Adel mengatakan ada tiga faktor utama penyebab stunting. Pertama, pola asuh.
Kedua, lingkungan berupa akses kepada air bersih dan sanitasi layak. Ketiga, pola
makan. “Jadi, pendek karena faktor genetik itu kecil, hanya menyumbang sekitar
5%,” ujarnya.
Khusus terkait pola makan, Adel mengingatkan ibu-ibu Tegalangus untuk
menyeimbangkan asupan gizi, baik itu saat hamil maupun menyusui. Asupan gizi
seimbang, dia bilang, terdiri dari karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur,
dan buah-buahan. “Jangan cuma makan pakai nasi dan kecap.”