
Bukan rahasia, jika dalam sejarah Festival Film Indonesia (FFI) tersimpan aib besar. Ketika di tahun 2006, para juri FFI menetapkan “Ekskul” karya Nayato Fio Nuala meraih tiga piala Citra. Yakni untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Penata Suara Terbaik. Padahal, film itu memuat unsur plagiat dan melanggar hak cipta, lantaran menggunakan ilustrasi musik dari film-film luar negeri seperti “Taegukgi”, “Gladiator”, dan “Munich”.
Kemenangan “Eskul” menimbulkan gelombang protes besar dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra. Mereka beramai-ramai mengembalikan penghargaan yang pernah diterima dan secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006. Di antara kelompok yang memprotes itu ada nama Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Citra 2005 lewat film “Gie” dan 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006.
Meskipun kemudian Piala Citra untuk Film dan Sutradara Terbaik FFI 2006 itu resmi dibatalkan dengan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007, dan ditanda-tangani ketua BP2N, Deddy Mizwar, namun pembatalan kemenangan itu tak serta merta memulihkan kepercayaan para sineas. Buntutnya, sekelompok orang film itu ogah mengikutsertakan filmnya lagi dalam ajang FFI.
Semangat Pembaharuan & Persatuan
Delapan tahun berlalu, pada 2014 kepercayaan akan kegiatan FFI berupaya ditumbuhkan lagi. Ini terjadi setelah Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang berdiri pada 17 Januari 2014, bertugas menyelenggarakan festival film.
“Dengan semangat persatuan, kami melakukan evaluasi dan menyimpulkan bahwa perlu ada perubahan dalam pelaksanaan FFI, terutama pada sistem penjurian,” ungkap Kemala Atmodjo, Ketua Umum Pelaksana FFI 2014, ketika berbincang dengan xposeindonesia.com di Sekretariat BPI, Gedung Film, Jakarta 12/11.
Perubahan pola penjurian dimulai BPI dengan melibatkan sebanyak mungkin orang sebagai juri. Jika sepanjang sejarah FFI dari tahun 1955-2013, setiap pelaksanaan FFI hanya menggunakan 5 sampai 9 orang juri, maka di tahun 2014 jumlahnya dikembangkan menjadi 100 juri. Mereka datang dari beragam kalangan dengan kemampuan piawai dalam menilai kualitas film. “Juri yang datang dari kalangan aktris dan aktor, harus pernah meraih Citra. Sementara juri non film harus tokoh masyarakat terkenal yang diakui secara nasional,” ujar Kemala lagi mengurai persayaratan seorang juri FFI.
Hasil penilaian masing masing juri, tidak dipegang panitia melainkan diserahkan kepada akuntan publik Deloitte. Sampai pada malam final, para juri tidak ada yang tahu siapa pemenangnya. “Saya pun tidak tahu sampai nama pemenang dibacakan. Dengan demikian hasil penjurian FFI dilihat dari sisi objetivitas dan akseptabilitas juga meningkat,”
Cara baru penjurian FFI, disosialisasikan ke seluruh insan film termasuk tentu pada mereka yang pernah mengembalikan Piala Citra dan tidak ingin ikut FFI sepanjang pola penjurian tidak diubah. Ternyata hasilnya menggembirakan. “Dari 50 Judul Film Bioskop yang sudah mendaftar, ada karya Mira Lesmana dan Riri Reza!” ujar Kemala Atmodjo. “Dari sisi peserta, bisa dibilang penyelenggaraan FFI tahun ini merangkum peserta terkomplit sejak 2007, di mana Mira Lesmana dan kawan yang waktu itu out dari FFI kini kembali lagi!”
Honor Juri Dipangkas
Kemala meyakinkan, dengan membengkaknya jumlah juri FFI, tidak serta merta menggelembungkan budget pelaksanaan FFI yang dianggarkan cuma Rp 10 Miliar. Kiatnya sederhana, honor juri yang selama ini berkisar antara Rp 30 juta – Rp 40 juta diturunkan menjadi hanya Rp 10 juta. Begitu juga honor seluruh panitia pelaksana.
“Honor saya sebagai panpel dari awal sampai akhir total hanya 15 juta. Saya rela berkorban untuk itu. Dan ini bukan hanya saya, Christine Hakim pun sebagai Duta FFI 2014 menerima jumlah honor yang sama. “Alokasi Ini dilakukan agar uang bisa dimanfaatkan untuk honor penjurian dan pelaksanaan acara,” ungkap Kemala